"Mereka sendiri yang nulis nama, alamat dan nomer telponnya. Kalau eyang mau datang, ya tinggal bel (telpon) aja". Begitu penjelasannya.
Ketiga, Berpikir positif. Nah dalam implementasinya, berpikir positif itu tipis sekali bedanya dengan cuek, tak ambil pusing, dan ge-er.
"kalau Eyang datang mereka senang lho", katanya. Tuh kan? Itu positif, cuek, atau ge-er?
"Emang nggak capek pergi jauh pakai bis atau kereta? nggak takut sakit setelah makan telor, jeroan, duren, emping?", berondong saya.
"Ya jangan pikir capek, jangan pikir sakit. Terserah Gusti Allah aja, kalau dikasih capek ya istirahat, kalau dikasih sakit ya terima", jawabnya santai sambil mulai selonjoran di sofa, yang memaksa saya turun ke lantai. Berakhirlah sesi wawancara eksklusif ini. Hidup ini sederhana, baginya.
Begitulah Eyang Cipok. Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Lebih sering datang tak diundang tapi minta dijemput. Seperti tongkat estafet, dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Lalu di mana sih rumahnya? Kami semua tak pernah tahu, dan sekarang tidak ada yang tahu di mana ia berada. Siapa tahu melalui tulisan ini, ada salah satu korban cipokan yang menghubungi saya untuk menjemput Eyang Cipok.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI