Jika hasrat plesirannya kumat, tak peduli kesibukan kita, dia minta diantar atau dijemput. Jika permintaannya tidak dipenuhi, dia cukup berkata," yowis, eyang jalan sendiri", sambil memerlihatkan gaya jalannya yang tertatih-tatih. Melelehlah kita. Takut kualat juga, sih.
Suatu kali dia ingin berkunjung ke "temannya" di Banyumanik Semarang. Ibu kami pun tak kenal siapa temannya itu. Kebetulan tidak ada yang dapat mengantarnya. Dengan sedikit menghasut, dia minta mbak Iyah, _ART di rumah_ untuk menemaninya. Naik angkot pun dilakoninya. Mba Iyah ketiban duren deh. Dengan susah payah ia menggandeng dan menggendong eyang Cipok agar bisa masuk ke dalam angkot. (bayangkan, dia selalu pakai kain!).
Supir angkot yang bersimpati melihat orangtua yang sulit naik angkot langsung mengomeli mba Iyah,"owalah mba..mba, orang udah sepuh gitu mbo' jangan diajak pergi". Sontak mba Iyah menjerit sewot,"lha piye, wong aku yang diajak kok". Supirnya bengong, eyang Cipok senyum-senyum, mba Iyah cemberut.
Walau jalan dan geraknya sudah lambat, tetapi Eyang Cipok jarang sakit. Paling top pusing, batuk, dan masuk angin. Obatnya balsam plus kerokan. Sakit itu tak mengubah hobinya ngobrol dan mengunyah. Saya jadi kepo tingkat kronis, apa sih rahasianya Eyang Cipok ini.
Saking penasaran, saya kuatkan diri selama dua jam untuk menyelidiki rahasianya. Kiat-kiat hidupnya mengalir disertai ilustrasi kisahnya. Akhirnya saya terheran-heran kalau tak boleh dibilang terpana. Eyang Cipok telah bertahun-tahun mengimplementasikan  apa yang biasa dan sering disampaikan para motivator.
Pertama, melakukan apapun dengan senang hati. Kata "apapun" ini dimaknainya sebagai semua kegiatan mulai dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Pantesan dia selalu semangat kalau bicara, pantesan dia tetap senang walau bepergian dengan angkutan umum, pantesan dia tetap senang mengunyah makanan yang tak pernah dia telan. Saya manggut-manggut.
"Pokoknya, senangkan dirimu dulu supaya bisa menyenangkan orang lain," begitu katanya.
"Kalau ada orang lain yang nggak senang?", tanya saya.
"Yo luweh, biarin aja". Sesederhana itu.
Kedua, silaturahim. Ini menjelaskan kenapa dia sering wara-wiri mengunjungi siapapun yang dianggap saudaranya, cucu, anak, atau teman dari saudaranya, bahkan teman dari temannya.
"Kok eyang bisa ingat mereka sih?". Dia tak menjawab, tetapi menyodorkan sebuah buku kecil agak kucel dari dalam tasnya. Di dalam buku itu terdapat nama sesuai abjad, alamat, dan nomer telpon dengan tulisan yang berbeda-beda.