Ia menyebutkan faktor lainnya yakni manajemen kelompok tani yang tak membuat RDKK juga mengakibatkan anggota petani tak mendapatkan jatah pupuk bersubsidi.
Sementara itu pengecer resmi pupuk bersubsidi di Kota Bengkulu, Adi, menjelaskan kelangkaan pupuk terjadi hampir setiap tahun, selain itu jatah pupuk subsidi juga sedikit sehingga distribusi tak merata.
“Anda bayangkan kami menaungi dua kelompok atau sekitar 40 petani hanya dijatahi 4 ton pupuk mana cukup itu, belum lagi petani mengambil pupuk sistem berhutang, untung kami hanya Rp 2 ribu per karung, bagaimana kami bertahan sementara menebus pupuk kami harus bayar tunai tak boleh berhutang,” ungkapnya.
Akibatnya kata Adi, untuk penyaluran pupuk bersubsidi tahun 2014 ke petani ia stop karena selalu merugi.
“Ini hutang petani sejak 2012 dan belum dilunasi saja mencapai Rp 25 juta berapa modal kami tak berputar,” bebernya.
Aaanya kelompok tani yang tak profesional dalam memanajemen kelompok ia akui juga menjadi pemicu petani susah mendapatkan kebutuhan pertanian. Misalnya, kata dia, pemerintah pernah memberikan bantuan ke kelompok tani berupa uang tunai yang digunakan untuk peruntukkan petani tapi oleh kelompok digunakan untuk membuka bengkel.
“Inikan tidak nyambung,” tegasnya.
Ia berharap pemerintah dapat kembali memikirkan sistem yang tepat dalam penyaluran pupuk bersubsidi sehingga petani tak sulit mendapatkan pupuk subsidi, dan pengecer tak mengalami kerugian.
Ancam Ketahanan Pangan
Sementara itu selain sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi, ancaman ketahanan pangan daerah terus terjadi, beberapa petani di kabupaten mulai mengalihfungsikan sawah mereka di Beng ke pertanian lains eperti sawit.
Kondisi ini semakin menyusutkan luasan sawah di Bengkulu, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Bengkulu mencatat dalam delapan tahun terakhir terdapat 63.800 hektare sawah menghilang.