Kepala Pusat Studi Kajian Mitigasi Bencana Universitas Bengkulu, Muhammad Farid menyebtukan belajar dari sejarah dan letak geografis yang dikelilingi pantai, Provinsi Bengkulu merupakan daerah rawan bencana terutama bencana tanah longsor, gempa dan tsunami.
“Pada 1912 daerah ini pernah diguncang gempa sebesar 8,9 SR dan terjangan tsunami hingga 30 KM lebih, dan ini perlu diwaspadai,” kata Farid saat ditemui di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Univeristas Bengkulu belum lama ini.
Dosen Ilmu Fisika Fakultas MIPA ini mengatakan berdasarkan prediksi siklus 100 tahunan kejadian gempa serupa akan terjadi sekitar 2012. Meski hingga saat ini prediksi tersebut tak terbukti, namun menurutnya kita semua tidak boleh lengah, karena kemungkinan bencana tersebut datang selalu ada.
Ia mengatakan, bencana alam sesungguhnya adalah bencana sosial karena yang menjadi persoalan adalah dampak dari kejadian alam tersebut. Karena manusia tidak dapat menghindari fenomena alam terutama seperti gempa dan tsunami, sehingga yang dapat dilakukan adalah bagaimana mengurangi risiko bencana itu sendiri.
Maka untuk itu menurutnya, semua pihak terutama wajib memasukkan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dalam setiap kegiatannya, terutama kegiatan pembangunan dan penyiapan infrastruktur.
“Untuk ini memang butuh biaya besar, tapi ini adalah investasi karena yang akan diselamatkan adalah manusia, belum lagi menyelamatkan kerugian yang sifatnya materi,” katanya kemudian.
Maka untuk itu, menyadari adanya ancaman bencana, dan tersadar setelah diguncang gempa pada 4 Juni 2000 sebesar 7,3 SR dan pada 12 September 2007 sebesar (7,9 SR) daerah ini mulai berbenah. Berbagai infrastruktur yang berkaitan dengan pengurangan risiko bencana mulai dibuat.
Sosialisasi yang selalu dilakukan mulai dari sekolah hingga imbauan di masjid yang terus digalakan membuat masyarakat pun ikut peduli dengan persoalan ini.
Mereka mulai memperhatikan aspek pengurangan risiko bencana dalam segala hal terutama pada pembangunan rumah. Salah satunya tidak menggunakan genteng yang terbuat dari tanah liat, mengubah daun pintu mengarah ke luar, dan pembangunan struktur rumah yang kuat agar dapat menahan guncangan bencana pada skala tertentu.
“Arah bukaan pintu pun, bisa menjadi hal membahayakan karena jika mengarah kedalam, akan menyulitkan kita keluar rumah pada saat gempa, dan sekarang masyarakat telah memperhatikan hal itu,” kata Kepala BPBD Provinsi Bengkulu Kolendri.
Provinsi Bengkulu memiliki indeks risiko bencana di seluruh wilayahnya. Dari 10 kabupaten/kota di daerah ini, 9 diantaranya berada pada zona merah, dan satu di zona oranye. Sebanyak tujuh kabupaten berada di pesisir pantai dengan ancaman tsunami, terdapat 196 desa yang berada pada zona merah dengan ketinggian tidak lebih dari 5 meter dari laut.
Sejauh ini menurut Kolendri, untuk mengurangi risiko bencana pemerintah daerah telah membuat peta evakuasi bencana sekaligus penyiapan infrastruktur berupa penunjuk jalan evakuasi, dan tempat titik kumpul.
Selain sosialisasi yang terus dilakukanm pemerintah juga menyiapkan kelompok-kelompok masyarakat sebagai motor penggerak masyarakat dengan mengunakan basis yang ada.
“Kita juga menyiapkan data masyarakat rentan, seperti ibu hamil, orang yang dipasung, manula dan penyandang cacat,” ujarnya.
Saat ini penunjuk jalur evakuasi banyak terlihat di daerah ini terutama, pada daerah pesisir pantai. Rencana BPBD akan membuat petunjuk jalur evakuasi di jalan karena menurutnya semakin sering masyarakat melihat jalur tersebut semakin baik.
“Sehingga pada saat bencana itu datang, masyarakat sudah tahu kemana dia harus pergi, terpenting itu adalah tidak panik dan menyelamatkan diri, karena yang dapat menyelamatkan mereka nanti adalah mereka sendiri,” jelasnya.
Program pengurangan risiko bencana, katanya lagi merupakan salah satu program prioritas di daerah ini. Sejak tahun 2010 pemerintah daerah telah membangun 50 gudang logistic bencana, yang tersebar di 10 kabupaten/kota. Gudang ini adalah tempat penyimpanan logistic bencana berupa sandang dan pangan.
Terakhir pemerintah provinsi Bengkulu membangun Shelter yang mampu menampung 1.500 orang. Shelter ini dibangun sebanyak empat lantai, dengan konstruksi tahan gempa.
“Meski tidak berharap bencana itu datang, harapannya nanti shelter ini dapat menjadi tempat evakuasi sementara bagi ribuan warga yang tinggal di pesisir pantai tersebut,” terang Kolendri.
Sementara itu, agar tidak mubazir shelter yang memiliki empat lantai ini, akan dimanfaatkan sebagai tempat pertemuan warga dan gudang penyimpanan logistic. Apalagi lokasinya persisi berada di samping kantor lurah Teluk Sepang.
“Warga dapat memfaatkannya untuk kegiatan bersama, untuk rapat atau pertemuan, untuk pengawasan kita serahkan ke pihak kelurahan,” lanjutnya.
Untuk shelter sendiri pada 2015, pemerintah provinsi Bengkulu berencana akan membangun 4 unit shelter serupa. Bangunan Shelter TES seluas 50×50 meter ini memiliki empat lantai dan dapat menampung 1.500 orang, dibangun di Kelurahan Teluk Sepang, Kota Bengkulu. Wilayah ini dipilih karena memiliki indeks kerentanan cukup tinggi.
Menurutnya Teluk Sepang berbatasan langsung dengan pantai, dan dengan ketinggian kurang dari 5 meter berada di zona merah. Belum lagi, tambahnya wilayah perkampungan nelayan ini jauh dari kawasan evakuasi dengan ketinggian aman jika terjadi tsunami.
Kolendri sendiri mengatakan konstruksi bangunan shelter, dimodifikasi sedemikan rupa agar kuat menahan guncangan gempa dan hempasan tsunami. Sehingga jika fenomena alam yang tidak kita tahu kapan akan terjadi tersebut datang, shelter ini diharapkan dapat menjadi benteng terakhir yang dapat menyelamatkan nyawa ribuan masyarakat yang ada di wilayah tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H