Mohon tunggu...
Firmansyah Tasril
Firmansyah Tasril Mohon Tunggu... -

Selamat dan sejahtera/www.sudutruang.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Mengamati Semangat Masyarakat Adat Enggano Membuat Perda

8 Januari 2015   01:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:35 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Senin (5/1/2014) tepatnya di Kedai Nusantara milik Aliansi MAsyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu, Rafli Zein Kaitora, begitu bersemangat berbicara penyelamatan Pulau Enggano, kawasan terluar dari Provinsi Bengkulu itu.

Dalam kacamata awam, masyarakat adat kerap dilabeli dengan, primitif, terbelakang, dan seterusnya tentu saja minim pendidikan. Namun kacamata tersebut saya sadari salah karena mereka menyadari bahwa mereka harus membuat aturan semacam Peraturan daerah (Perda) agar kampung mereka yang terletak di Samudera Hindia itu terlindungi.

Ia sempat sebutkan, sebelum Presiden Joko Widodo keras terhadap nelayan asing pencuri ikan, pemandangan aktifitas pencurian ikan di perairan tersebut kerap terjadi.

“Selama ini kami tak aneh melihat kapal berbendera asing seperti Thailand, Jepang, Filiphina, masuk ke perairan Pulau Enggano, mereka mengambil ikan dengan peralatan sangat canggih, bahkan bisa jadi mereka punya kapal induk di tengah samudera,” kata Rafli dalam Seminar “Penyelamatan Masyarakat Adat Enggano Sebuah Keharusan” yang digelar Aliansi Masyarakat Bengkulu (AMAN) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Kota Bengkulu, Senin (5/1/2015).

Saat itu ia mengisahkan, masyarakat tak dapat berbuat banyak karena kewenangan mengusir tersebut ada ditangan pemerintah dalam hal ini TNI AL, ia juga akui jumlah personel TNI AL di pulau terluar Bengkulu tersebut sangat terbatas.

“Saya pernah melihat mereka menangkap ikan cukup canggih, dengan alat khusus maka ratusan ikan berukuran besar justru merapat ke kapal nelayan asing itu, saya tidak tahu alat apa yang mereka gunakan,” kata Rafli.

Ia katakan, sesungguhnya masyarakat adat asli Pulau Enggano dapat mengusir kapal-kapal asing tersebut karena selama ini masyarakat memiliki hukum adat yang memberi batas pada mil tertentu ke tengah laut, boleh menangkap ikan. Sayangnya, aturan adat tersebut belum dikukuhkan dalam bentuk sah seperti Perda Adat atau sejenisnya.

“Kami berjuang keras agar Perda adat masyarakat Enggano dapat disahkan pemerintah agar kami mempunyai landasan hukum untuk menerapkan hukum masyarakat adat yang telah temurun dari leluhur kami ratusan tahun lalu, ini bertujuan membantu kinerja pemerintah dalam melindungi pulau dan juga NKRI,” tegasnya.

Ia katakan Perda masyarakat adat juga sangat diberlukan bagi masyarakat adat Enggano mengingat rentannya pulau yang berukuran 45 kilometer per segi itu.

Sementara itu akademisi Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Andrie Suharyanto, menyebutkan Pulau Enggano memiliki syarat cukup jika wilayah tersebut memiliki Perda Masyarakat adat dengan kriteria yakni, ada masyarakat adat, ada pemerintahan adat, ada norma hukum adat, dan punya harta kelembagaan adat.

“Pulau Enggano telah memiliki syarat itu dan secara konstitusi Perda perlindungan terhadap masyarakat adat dapat diberlakukan, ini tinggal niat masyarakat dan pemerintahnya,” demikian Rafli.

Pulau Enggano merupakan pulau terluar di Provinsi Bengkulu yang berada di tengah Samudera Hindia, pulau ini ditempati lebih dari 3.000 jiwa, memiliki lima suku yang masing-masing dibawahi satu kepala suku.

Mengingat rentannya kondisi pulau dari laju abrasi, pencurian ikan, illegal logging, dan lainnya membuat masyarakat adat tersebut menginisiasi pembuatan Perda Masyarakat adat.

Tanah Diperjualbelikan

Dalam masyarakat adat Enggano tak ada kepemilikan private terhadap tanah, kondisi semakin menyedihkan saat jual beli tanah marak terjadi yang dilakukan beberapa oknum, kasus tersebut sempat bergulir ke ranah hukum.

Trauma serupa sebelumnya pernah terjadi saat satu perusahaan mengelola kawasan Enggano untuk dijadikan perkebunan melinjo ribuan hektare luasnya namun yang terjadi, justru pengambilan kayu yang terjadi, tak ada perkebunan melinjo yang ditanam.

Semangat masyarakat adat membuat payung hukum untuk melindungi kampung mereka patut diapresiasi meski usaha tersebut tidaklah gampang. Ada banyak tahapan perjuangan yang harus mereka lakukan hingga masyarakat adat Enggano diakui secara tegas dalam konstitusi negara yang menganut hukum positivisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun