Menjadi seorang guru penggerak tidaklah instan. Membutuhkan proses belajar yang panjang bernama Pendidikan Guru Penggerak (PGP). Sebuah program yang menjadi prioritas Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI.Â
Sebagai program prioritas tentu pemerintah memiliki harapan yang tinggi terhadap hasil program ini. Terlebih selama mengikuti pendidikan, guru penggerak memperoleh banyak ilmu dan pengalaman.Â
Ilmu yang diperoleh pun terkait erat dengan perubahan diri, kelas, dan ekosistem. Dalam upaya mewujudkan hal tersebut pastinya kematangan guru penggerak mutlak diperlukan.Â
Hal ini erat kaitannya dengan pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran. Bukan saja bagi orang lain, melainkan juga bagi diri sendiri.Â
Pengambilan keputusan bagi diri sendiri seorang guru penggerak membutuhkan pertimbangan. Termasuk di antaranya, yaitu terkait belajar. Belajar bagi guru penggerak bukan hal asing.Â
Berbagai hal bisa dijadikan sebagai sumber belajar. Modul selama mengikuti PGP merupakan sumber belajar wajib. Selain itu guru penggerak juga memanfaatkan sumber lain sebagai referensi. Termasuk pengalaman.Â
Seperti kita tahu, pengalaman adalah guru terbaik. Namun, guru penggerak tidak belajar dari pengalaman.Â
Mengapa Guru Penggerak Tidak Belajar dari Pengalaman?Â
Sebenarnya ini pertanyaan yang muncul setelah menyimak paparan salah seorang narasumber dalam Rapat Koordinasi Pendidikan Guru Penggerak (PGP) Angkatan 6 dan 7. Narasumber berkesempatan hadir pada sesi berbagi tentang Program PGP.Â
Dalam paparannya, Otong Kusnadi dari Pokja PGP Kemendikbudristek RI ini menyampaikan kebijakan terkait penyelenggaraan program PGP. Salah satunya terkait proses seleksi aktor utama dan pendukung PGP.Â