Bagaimanapun juga sekolah adalah ekosistem yang dinamis. Selalu ada perubahan yang menyertainya. Bukan saja fisik sekolah, melainkan hati dan perasaan warganya.Â
Sedikit saja kesalahan diperbuat, akan menjadi preseden buruk ke depannya. Terlebih status guru penggerak yang disandang. Secara tidak sadar dituntut menjadi tuntunan.Â
Sekali saja sedikit terpeleset kemungkinan tergelincir akan terbuka lebar. Sedikit saja tidak sesuai harapan, selamanya akan dicap tidak bisa melaksanakan tugas dan kewajiban.Â
Gempuran demi gempuran datang dari berbagai sisi. Hambatan demi hambatan datang menghampiri. Tantangan demi tantangan setia menemani.Â
Ini bukan menakut-nakuti. Serius. Namun, ini adalah fakta yang terjadi. Menjadi guru penggerak membutuhkan kesiapan mental dan emosional. Memerlukan kewarasan dalam menyikapi berbagai hal.Â
Pada kondisi seperti ini, haruskah guru penggerak menyerah? Tentu tidak! Menyerah hanya bagi orang-orang yang kalah. Guru penggerak sejatinya pemenang.
Memenangkan pertempuran dalam medan peperangan bernama pendidikan demi mewujudkan perubahan. Memenangkan egoisme sendiri untuk terus berusaha mengembangkan orang lain.Â
Pendidikan selama enam atau sembilan bulan cukup menguatkan guru penggerak. Durasi yang telah ditaklukkan sebelumnya adalah tantangan. Menjadi bekal menaklukkan hambatan setelah selesain pendidikan.
Fakta di lapangan seperti inilah yang membuat daya lenting sangat penting dimiliki guru penggerak. Tujuannya agar tetap mampu bertahan dari gelombang hambatan. Selanjutnya bisa bangkit kembali menerjang gelombang dengan perubahan.Â
Ini juga berlaku bagi guru penggerak yang bertugas di sekolah tanpa riak. Daya lenting juga tetap penting. Tujuannya lebih siap saat badai menghadang saat melakukan perubahan.Â
Tentu daya lenting bukan monopoli guru penggerak saja. Guru lainnya pun harus memiliki. Sebab bukan tidak mungkin kondisi yang sama pun dihadapi di lapangan.Â