Bu Ayu tidak segera merespons pertanyaanku. Dia masih asyik menikmati rangkaian kata yang ada. Sesekali dia terlihat mengerutkan dahinya. Namun, itu tidak membuatnya meneruskan membaca. Terlihat kesungguhannya dalam melanjutkan membuka setiap halaman buku. Hingga akhirnya, dia menghentikan aktivitasnya.Â
Aku kembali bertanya, "Gimana, Bu? Sudah selesai membacanya?"
Bu Ayu memalingkan wajahnya dari buku. Sepasang mata sayunya menatap ke arahku. Senyumannya tercetak jelas di kelopak mataku.Â
"Belum, Pak Mo. Aku baru baca garis besarnya doang, nih," jawabnya sambil membetulkan posisi buku di pangkuannya.Â
Sejurus kemudian sederet kalimat tanya meluncur dari bibirku, "Apa yang Bu Ayu udah baca? Cerita, dong!"
Bu Ayu mulai menceritakan hasil bacanya. Dia mengawali cerita tentang alasan mengapa harus menulis cerita fiksi. Dia juga menjelaskan bahwa salah satu alasannya adalah dengan menulis fiksi, akan memudahkan guru dalam membuat soal Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) aspek literasi teks fiksi sebagai latihan. Lebih lanjut dia menjelaskan alasan lainnya, yaitu sebagai upaya menyembuhkan dan menyembunyikan diri. Tidak lupa dia menyebutkan alasan menulis fiksi, yaitu sebagai jalan mengeksplorasi dan menemukan passion dalam menulis.Â
Mendengar penjelasannya, aku bertepuk tangan pelan. Aku pun memancingnya untuk menyampaikan pertanyaan.Â
Bu Ayu pun bertanya, "Emang apa aja, sih, syarat agar bisa menulis fiksi, Pak Mo?"
Aku memberikan penguatan atas pertanyaan Bu Ayu. Setelahnya mulai menjelaskan dengan perlahan-lahan agar mudah dipahami olehnya. Aku menjelaskan bahwa syarat pertama agar bisa menulis fiksi adalah komitmen dan niat kuat untuk menulis.Â
"Nah komitmen dan niat ini erat kaitannya sama upaya mempelajari dan menyelesaikan tulisan yang telah dimulai. Gitu," jawabku sambil melemparkan senyum tipis ke arahnya.Â
Bu Ayu merespons jawabanku dengan sebuah pertanyaan, "Lalu bagaimana tentang syarat lainnya yaitu kemauan dan kemampuan melakukan riset, Pak Mo? Emang tulisan fiksi butuh riset juga, ya?"