Aku hidup di lingkungan orang tua yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Almarhum ayahku tidak tamat Sekolah Rakyat (SR). Sedangkan ibuku, blas! Sama sekali tidak pernah merasakan apa itu sekolah. Namun, justru kondisi demikian membuat keduanya tidak pernah menginginkan anak-anaknya seperti mereka.Â
Orang tuaku memaksa kami berenam untuk sekolah. Namun, kakak sulung, kedua, dan ketiga memutuskan memilih mengikuti ibu berdagang. Berbeda dengan kakak keempat, kelima, dan aku. Ketiganya tanpa sadar didoktrin untuk terus melanjutkan pendidikan.Â
"Cukup Simbok sama Bapakmu saja yang bodoh. Kalian jangan!"
Kalimat sakti dari sosok ibu yang membuat kau dan kedua kakakku berusaha keras untuk menyelesaikan bangku kuliah. Hingga akhirnya, dari tangan perempuan perkasa itu lahirlah tiga orang sarjana, Sarjana Pendidikan, Sarjana Ekonomi, dan Sarjana Peternakan.
Singkat cerita, masing-masing pun melakoni hidup sesuai takdir masing-masing. Aku memilih jalur pendidikan sebagai bentuk pengabdian ilmu. Bukan di tanah kelahiranku, tetapi jauh terbang ke serpihan surga di bumi, pulau Lombok.Â
Pulau Lombok yang menjadi tempatku mengabdi sejak tahun 1998 mengajarkan banyak hal. Tentang kekuatan semangat dan keteguhan hati menjalankan pengabdian. Enam tahun lamanya bertahan sebagai guru honorer di salah satu SMA swasta di kota Mataram. Hingga kini enam belas tahun lamanya tetap tulus mengabdikan diri sebagai guru IPA di SMP Negeri 3 Lingsar. Tetap bertahan meskipun tunjangan sertifikasi pendidikan masih jauh di atas angan-angan. Selalu bertahan tanpa pernah tahu apa alasannya.Â
Hingga akhirnya ada tawaran mengikuti guru penggerak angkatan 2. Sebagai guru pembelajar, aku pun penasaran. Namun, sayang aku masih enggan. Hingga akhirnya ada penunjukan dengan sedikit keterpaksaan aku menikmati setiap detik proses pendidikan. Selama sembilan bulan ditempa akhirnya berhasil melakukan perubahan diri, kelas, dan sekolah. Status baru sebagai guru penggerak pun disandang. Bahkan posisi Ketua Komunitas Guru Penggerak Lombok Barat pun menjadi amanah dalam perjalanan kehidupan. Berbagai komentar dari sekitar pun justru semakin menguatkan.Â
Di sela-sela mengajar dan menjalankan peran sebagai guru penggerak, aku terus bergerak. Sepenuh hati aku memanfaatkan banyak ruang gerak yang memang sejak awal ada jauh sebelum mengikuti pendidikan. Ruang itu bernama literasi. Ruang inilah yang mengantarkanku menembus batas kewilayahan.Â
Berbagai prestasi mengiringi kesungguhan terus belajar. Menjadi pemenang lomba menulis bahan bacaan literasi tahun 2016 dan 2019 tingkat provinsi NTB adalah kebanggaan. Menjadi juara lomba menulis di blog versi indihome tahun 2021 dan juara favorit menulis di satuguru.id juga merupakan capaian. Terakhir menjadi pemenang video inovatif Implementasi Kurikulum Merdeka tingkat provinsi NTB tahun 2022 juga merupakan alasan kebahagiaan.Â
Ditambah lagi dengan jejaring dengan penulis dan narablog untuk berkarya adalah kesempatan besar. Terutama dengan penulis dan narablog yang sefrekuensi, sama-sama menyukai menulis fiksi. Jejaring itu terus menumbuhkan. Meskipun beberapa jejaring putus di tengah jalan, tetapi tidak bagiku. Pijar lentera terus menyala dalam dada. Menjadikan fiksi sebagai bagian tak terpisahkan dari cerita hidup yang ada.Â
Melalui duet dengan salah seorang penulis fiksi bernama Iit Sibarani, lahirlah buku perdana yang terbit secara mayor pada tahun 2017. Buku yang diterbitkan penerbit Media kita itu berjudul 'Di Penghujung Pelukan'. Sebuah buku yang ditulis dengan teknik kolaborasi. Satu cerita ditulis berdua secara bergantian awal dan akhirnya.Â