Jangan mengenalku, nanti kecewa!
Itu kata pertama yang sering aku ucapkan ketika berkenalan dengan seseorang. Bukannya apa-apa. Aku hanya tidak ingin seseorang itu menaruh harapan terlalu tinggi hingga ingin mengenalku. Rasanya tidak perlu lebih jauh mengenali aku juga. Cukup kenali aku lewat nama dan karya. Sebab aku yakin keduanya akan bertahan jauh lebih lama dibanding usia.Â
Jangan mengenalku, nanti kecewa!
Serius. Aku bukanlah siapa-siapa. Aku pun belum menjadi apa-apa. Jika kau berharap mengenalku akan membuatmu bahagia, mungkin itu tidak tepat adanya. Sebab bisa jadi aku tidak akan bisa membuatmu bahagia. Bagaimanapun juga, bahagia kau sendiri yang bisa menciptakannya.Â
Masih belum berubah pikiran dan tetap ingin mengenalku juga?Â
Jangan teruskan membacanya! Kau tak akan menemukan apa-apa, selain hanya rangkaian kata. Bisa jadi bahkan tanpa makna. Sebab aku menuliskannya apa adanya. Tanpa tujuan terlebih memikirkan pembelajaran apa yang bisa kauambil dan rasa.Â
Belum menyerah juga?
Baiklah. Kali ini sebaiknya aku yang menyerah saja. Akan kutuliskan untukmu berbaris-baris kata. Mungkin akan memberikan sedikit makna bagi yang sesuai selera bacanya. Bisa jadi tidak berarti apa-apa jika kau memang bukan salah satunya. Tidak akan menemukan pembelajaran apa pun juga bagimu yang menganggap tulisan ini tidak ada. Bebas saja. Tidak ada yang memaksamu untuk menemukan makna. Itu hanya harapanku saja. Selebihnya, kembali kepada selera pembaca.Â
Jadi begini… sebab kau memaksa, aku dengan suka rela akan mengisahkannya. Tentang aku dan segala benih-benih pemikiran agar abadi dalam tulisan. Tentang aku dan butir-butir kehidupan sepanjang perjalanan.Â
Aku lahir di Sukoharjo Jawa Tengah 48 tahun lalu. Aku anak bungsu yang terlahir dari rahim seorang perempuan hebat penjual jamu gendong dengan nama Gunarso. Awalnya hampir saja dinamai Banjir, karena saat lahir desaku terkena dampak luapan sungai Bengawan Solo. Namun, akhirnya karena sering sakit namaku pun diganti menjadi Sudomo. Sebuah nama seperti yang dikenal orang saat ini.Â
Menyandang nama Sudomo tidaklah mudah. Selalu saja ada yang membandingkan dan menyandingkan namaku dengan mantan Pangkobkamtib. Ya beban. Ya rasa rendah diri. Ya bangga juga. Campur aduk perasaan yang ada.Â
Aku hidup di lingkungan orang tua yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Almarhum ayahku tidak tamat Sekolah Rakyat (SR). Sedangkan ibuku, blas! Sama sekali tidak pernah merasakan apa itu sekolah. Namun, justru kondisi demikian membuat keduanya tidak pernah menginginkan anak-anaknya seperti mereka.Â
Orang tuaku memaksa kami berenam untuk sekolah. Namun, kakak sulung, kedua, dan ketiga memutuskan memilih mengikuti ibu berdagang. Berbeda dengan kakak keempat, kelima, dan aku. Ketiganya tanpa sadar didoktrin untuk terus melanjutkan pendidikan.Â
"Cukup Simbok sama Bapakmu saja yang bodoh. Kalian jangan!"
Kalimat sakti dari sosok ibu yang membuat kau dan kedua kakakku berusaha keras untuk menyelesaikan bangku kuliah. Hingga akhirnya, dari tangan perempuan perkasa itu lahirlah tiga orang sarjana, Sarjana Pendidikan, Sarjana Ekonomi, dan Sarjana Peternakan.
Singkat cerita, masing-masing pun melakoni hidup sesuai takdir masing-masing. Aku memilih jalur pendidikan sebagai bentuk pengabdian ilmu. Bukan di tanah kelahiranku, tetapi jauh terbang ke serpihan surga di bumi, pulau Lombok.Â
Pulau Lombok yang menjadi tempatku mengabdi sejak tahun 1998 mengajarkan banyak hal. Tentang kekuatan semangat dan keteguhan hati menjalankan pengabdian. Enam tahun lamanya bertahan sebagai guru honorer di salah satu SMA swasta di kota Mataram. Hingga kini enam belas tahun lamanya tetap tulus mengabdikan diri sebagai guru IPA di SMP Negeri 3 Lingsar. Tetap bertahan meskipun tunjangan sertifikasi pendidikan masih jauh di atas angan-angan. Selalu bertahan tanpa pernah tahu apa alasannya.Â
Hingga akhirnya ada tawaran mengikuti guru penggerak angkatan 2. Sebagai guru pembelajar, aku pun penasaran. Namun, sayang aku masih enggan. Hingga akhirnya ada penunjukan dengan sedikit keterpaksaan aku menikmati setiap detik proses pendidikan. Selama sembilan bulan ditempa akhirnya berhasil melakukan perubahan diri, kelas, dan sekolah. Status baru sebagai guru penggerak pun disandang. Bahkan posisi Ketua Komunitas Guru Penggerak Lombok Barat pun menjadi amanah dalam perjalanan kehidupan. Berbagai komentar dari sekitar pun justru semakin menguatkan.Â
Di sela-sela mengajar dan menjalankan peran sebagai guru penggerak, aku terus bergerak. Sepenuh hati aku memanfaatkan banyak ruang gerak yang memang sejak awal ada jauh sebelum mengikuti pendidikan. Ruang itu bernama literasi. Ruang inilah yang mengantarkanku menembus batas kewilayahan.Â
Berbagai prestasi mengiringi kesungguhan terus belajar. Menjadi pemenang lomba menulis bahan bacaan literasi tahun 2016 dan 2019 tingkat provinsi NTB adalah kebanggaan. Menjadi juara lomba menulis di blog versi indihome tahun 2021 dan juara favorit menulis di satuguru.id juga merupakan capaian. Terakhir menjadi pemenang video inovatif Implementasi Kurikulum Merdeka tingkat provinsi NTB tahun 2022 juga merupakan alasan kebahagiaan.Â
Ditambah lagi dengan jejaring dengan penulis dan narablog untuk berkarya adalah kesempatan besar. Terutama dengan penulis dan narablog yang sefrekuensi, sama-sama menyukai menulis fiksi. Jejaring itu terus menumbuhkan. Meskipun beberapa jejaring putus di tengah jalan, tetapi tidak bagiku. Pijar lentera terus menyala dalam dada. Menjadikan fiksi sebagai bagian tak terpisahkan dari cerita hidup yang ada.Â
Melalui duet dengan salah seorang penulis fiksi bernama Iit Sibarani, lahirlah buku perdana yang terbit secara mayor pada tahun 2017. Buku yang diterbitkan penerbit Media kita itu berjudul 'Di Penghujung Pelukan'. Sebuah buku yang ditulis dengan teknik kolaborasi. Satu cerita ditulis berdua secara bergantian awal dan akhirnya.Â
Jalur fiksi masih tetap di hati, pada tahun 2018 buku solo pertama terbit secara mayor. Buku berjudul 'Pahlawan Antikorupsi: Sudah Adil, Kok!' diterbitkan melalui penerbit anak perusahaan Gramedia, yaitu Funtastic M&C. Kumpulan cerita anak dengan tema sembilan nilai antikorupsi ini pun berjejer di rak toko buku Gramedia seluruh Indonesia.Â
Cerita anak pun menjadi pilihan utama. Hingga awal tahun 2023, novel anak berhasil diterbitkan secara digital di penerbit ANDI Yogyakarta. Buku berjudul 'Bermain Sambil Belajar: Tim Pencari Pesawat Sederhana' itu bisa didapatkan dalam bentuk digital di PlayStore.Â
Perjalanan terus berlanjut. Upaya pengembangan diri dan orang lain tak henti dilakukan. Berbagi terkait edukasi dan fiksi terus dilakukan melalui talkshow, webinar, dan kelas menulis. Semata-mata demi menumbuhkan literasi di dalam dunia pendidikan.Â
Bagaimana? Tentangku sederhana sekali, bukan? Tidak apa-apa jika kau kecewa setelah selesai membaca. Itu sudah biasa. Agar kecewa tidak berkelanjutan, kenali aku lewat kata di https://kompasiana.com/sudomo_s.pt./Â atau media sosial lainnya Instagram/Twitter @momo_dm.
Semoga tidak sampai membuatmu kecewa!Â
Salam Bloger Penggerak
Sudomo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H