Pembelajaran berpusat pada murid telah dia terapkan. Pembiasaan literasi di sekolah pun telah dianggap sebagai program sekolah. Pemanfaatan TIK dalam pembelajaran mulai menjadi kebiasaan. Masih banyak hal lain yang telah dia perjuangkan. Semata-mata demi mewujudkan pembelajaran yang memerdekakan.Â
Dia tidak pernah bertanya apa yang akan dia dapatkan dari semua yang telah dilakukan untuk sekolah. Dia juga tidak pernah bertanya, mengapa dia mau melakukan itu semua? Dia hanya tahu, untuk bisa maju seseorang harus terus belajar. Salah satunya adalah lewat berbagi. Entah materi apa saja yang telah dia bagi.
Banyak hal yang telah dia bagikan. Materi terkait pemanfaatan blog untuk pembelajaran, pembelajaran berdiferensiasi, dan juga terkait dunia literasi.Â
Sedikit demi sedikit yang dilakukannya membawa perubahan dalam ekosistem sekolah. Budaya positif terus berkembang. Namun, dia masih harus terus berjuang. Dia berjanji akan terus berjuang. Sebab begitu dia akan tetap menjadi pahlawan meskipun tanpa tunjangan profesi guru. Tunjangan yang entah kapan akan bisa dia nikmati sebagai bagian dari profesinya saat ini, apa pun latar belakang pendidikannya.
Sebab siapa tahu bukan hanya dia yang memiliki nasib seperti ini. Mungkin ada yang mengalami persoalan yang sama. Beda dengan permasalahan guru honorer yang jumlahnya jauh lebih banyak. Mungkin juga isu linieritas program studi ini tidak seksi karena hanya melibatkan segelintir guru saja.
Apa pun itu, semoga PGRI bisa mengakomodir persoalan lelaki ini.
Lelaki itu, adalah saya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H