Matahari baru saja terlihat di ufuk timur. Semburatnya mengintip dari sela daun pohon mahoni. Seorang lelaki berusia 30 tahun terlihat berusaha keras menyalakan sepeda motornya. Sepeda motor berwarna hijau itu pun akhirnya bisa diajak kompromi. Lelaki itu tersenyum sendiri. Dia hampir saja menyerah. Namun, waktu menjawab usahanya menyalakan mesin sepeda motor manual.Â
Dengan bekal doa, dia pun mulai melajukan sepeda motornya ke arah ibukota kabupaten. Hari ini, dia akan mengadu nasib bersama ratusan orang lainnya. Setengah jam berlalu, dia pun tiba di lokasi ujian. Dengan teliti dia berusaha menemukan nomor ujiannya. Tepat di tengah dua ujung tenda, dia menemukan kursinya.
Kursi plastik itu basah oleh sisa embun malam. Dengan telaten dia berusaha mengeringkannya. Sebelum benar-benar duduk, dia memastikan nomor ujian yang tertempel di kursi itu. Dia sedikit terkejut karena nomor ujiannya berbeda dengan yang lainnya. Pada nomor ujiannya tidak terdapat foto dirinya.Â
Dia pun mendengar berbagai celetukan dari orang di sekitarnya. Ada yang berkelakar kalau lelaki itu adalah titipan. Sementara yang lain mengiyakan dengan tawa yang riuh.
Lelaki itu pun membalasnya sambil berkelakar. Kesamaan nasib mampu mendekatkan beberapa orang yang tidak saling kenal saat itu.
Setelahnya dia pun menelepon pimpinannya. Dia minta izin dan doa mengikuti ujian penerimaan CPNS tahun 2005. Kebetulan ada formasi guru IPA dari sarjana nonkependidikan.Â
Hari pun berangsur siang. Waktu ujian masih tersisa beberapa waktu lamanya. Lelaki itu sama sekali tidak menggeser posisi kursinya. Dia tetap bertahan di bawah siraman cahaya matahari.
Berbeda dengan orang yang sederet dengannya. Dengan tekun dia berusaha menyelesaikan beberapa soal yang belum ditemukan jawaban. Kertas soalnya telah penuh dengan coretan.
Namun, hasilnya masih tidak sesuai dengan yang diharapkan. Waktu terus berjalan. Tinggal beberapa soal dia selesaikan. Dia pun menyerah. Menjawab beberapa soal tersisa dalam pasrah.Â
Hingga akhirnya di penghujung November 2005, pengumuman kelulusan pun disampaikan melalui media massa cetak. Lelaki itu sujud syukur ketika menemukan namanya di daftar kelulusan. Sambil menunggu penempatan, dia terus mengabdikan diri di Lembaga Sosial Masyarakat bidang perlindungan anak. Tanpa terasa penghujung tahun pun hadir. Tepatnya Desember 2005 terbit Undang-Undang Guru dan Dosen.Â
Sebuah produk kebijakan yang membuatnya tidak diakui profesionalitasnya pada saat pengangkatan bulan April 2006. Empat bulan selisih kebijakan terkait jurusan pendidikan, tidak membuatnya menyerah. Dia terus berjuang mengabdikan ilmu pengetahuan. Entah berapa karya telah dia hasilkan.
Dia pun tak segan mengembangkan diri dalam banyak hal, terutama kepenulisan. Menulis di blog, menerbitkan buku di penerbit mayor, menjuarai kompetisi menulis, dan lain-lain. Semua demi membawa nama baik sekolah.Â
Tidak lupa dia juga mengaplikasikan ilmunya di sekolah. Melakukan inovasi pembelajaran memanfaatkan teknologi pun dia terapkan. Bukan itu saja, di sekolah dia terus berbagi praktik-praktik baik maupun materi peningkatan kompetensi guru.
Bahkan secara mandiri memiliki inisiatif mengelola website sekolah dan channel Youtube sekolah hingga saat ini. Hanya dengan berbekal kolaborasi dengan sejawat, dia terus mengembangkan media sosial sekolah. Bukan itu saja. Seiring waktu berjalan dia mampu membawa tim majalah dinding sekolah menjadi juara dalam perlombaan tingkat kabupaten.Â
Sepanjang tahun banyak karya telah dia hasilkan. Tulisan-tulisan di website sekolah sebagai bentuk promosi terus dia lakukan. Channel Youtube sekolah pun tidak pernah dia tinggalkan. Kompetensinya memang tidak perlu diragukan. Hingga 16 tahun pengabdian dia tetap bersabar untuk bertahan meskipun tanpa tunjangan. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi untuk bisa memperolehnya. Tunjangan profesional guru hanya sekadar angan-angan baginya.
Sekian lama mengabdi ternyata bukanlah jaminan dia dipermudah mendapatkan tunjangan profesi guru. Semua karena kebijakan yang menilai bahwa linieritas program studi adalah jaminan profesionalisme guru. Benarkah? Bisa saja benar, bisa juga salah. Tergantung dari sudut mana menilainya.
Benar, jika memang dilihat dari sudut pandang guru yang profesional dalam menjalankan tugas. Salah, jika dari sudut pandang guru yang mendidik hanya sekadar menggugurkan kewajiban.Â
Lantas bagaimana nasibnya? Hingga saat ini dia hanya bisa tetap bersyukur untuk tunjangan nonsertifikasi yang diterimanya. Suatu hari dia pernah berpikir mengadukannya kepada PGRI. Namun, tidak jadi. Dia tidak tahu bagaimana harus mengadu karena dia hanya berjuang sendirian.
Ada kekhawatiran pengaduan hanya akan sia-sia karena menyangkut kebijakan pusat. Yang bisa dia lakukan saat ini hanya terus berjuang memajukan pendidikan di sekolah dan daerahnya. Terlebih setelah lulus dan menyandang sebagai seorang pemimpin pembelajaran. Melalui berbagai kesempatan dia terus belajar lewat berbagi. Mengembangkan diri dan orang lain telah menjadi bagian dirinya.Â
Tanpa mengenal lelah dia berjuang melakukan perubahan di sekolah. Beberapa prakarsa perubahan pun dia lakukan. Pembentukan komunitas praktisi sekolah dia laksanakan.
Pembelajaran berpusat pada murid telah dia terapkan. Pembiasaan literasi di sekolah pun telah dianggap sebagai program sekolah. Pemanfaatan TIK dalam pembelajaran mulai menjadi kebiasaan. Masih banyak hal lain yang telah dia perjuangkan. Semata-mata demi mewujudkan pembelajaran yang memerdekakan.Â
Dia tidak pernah bertanya apa yang akan dia dapatkan dari semua yang telah dilakukan untuk sekolah. Dia juga tidak pernah bertanya, mengapa dia mau melakukan itu semua? Dia hanya tahu, untuk bisa maju seseorang harus terus belajar. Salah satunya adalah lewat berbagi. Entah materi apa saja yang telah dia bagi.
Banyak hal yang telah dia bagikan. Materi terkait pemanfaatan blog untuk pembelajaran, pembelajaran berdiferensiasi, dan juga terkait dunia literasi.Â
Sedikit demi sedikit yang dilakukannya membawa perubahan dalam ekosistem sekolah. Budaya positif terus berkembang. Namun, dia masih harus terus berjuang. Dia berjanji akan terus berjuang. Sebab begitu dia akan tetap menjadi pahlawan meskipun tanpa tunjangan profesi guru. Tunjangan yang entah kapan akan bisa dia nikmati sebagai bagian dari profesinya saat ini, apa pun latar belakang pendidikannya.
Sebab siapa tahu bukan hanya dia yang memiliki nasib seperti ini. Mungkin ada yang mengalami persoalan yang sama. Beda dengan permasalahan guru honorer yang jumlahnya jauh lebih banyak. Mungkin juga isu linieritas program studi ini tidak seksi karena hanya melibatkan segelintir guru saja.
Apa pun itu, semoga PGRI bisa mengakomodir persoalan lelaki ini.
Lelaki itu, adalah saya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H