Sebuah produk kebijakan yang membuatnya tidak diakui profesionalitasnya pada saat pengangkatan bulan April 2006. Empat bulan selisih kebijakan terkait jurusan pendidikan, tidak membuatnya menyerah. Dia terus berjuang mengabdikan ilmu pengetahuan. Entah berapa karya telah dia hasilkan.
Dia pun tak segan mengembangkan diri dalam banyak hal, terutama kepenulisan. Menulis di blog, menerbitkan buku di penerbit mayor, menjuarai kompetisi menulis, dan lain-lain. Semua demi membawa nama baik sekolah.Â
Tidak lupa dia juga mengaplikasikan ilmunya di sekolah. Melakukan inovasi pembelajaran memanfaatkan teknologi pun dia terapkan. Bukan itu saja, di sekolah dia terus berbagi praktik-praktik baik maupun materi peningkatan kompetensi guru.
Bahkan secara mandiri memiliki inisiatif mengelola website sekolah dan channel Youtube sekolah hingga saat ini. Hanya dengan berbekal kolaborasi dengan sejawat, dia terus mengembangkan media sosial sekolah. Bukan itu saja. Seiring waktu berjalan dia mampu membawa tim majalah dinding sekolah menjadi juara dalam perlombaan tingkat kabupaten.Â
Sepanjang tahun banyak karya telah dia hasilkan. Tulisan-tulisan di website sekolah sebagai bentuk promosi terus dia lakukan. Channel Youtube sekolah pun tidak pernah dia tinggalkan. Kompetensinya memang tidak perlu diragukan. Hingga 16 tahun pengabdian dia tetap bersabar untuk bertahan meskipun tanpa tunjangan. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi untuk bisa memperolehnya. Tunjangan profesional guru hanya sekadar angan-angan baginya.
Sekian lama mengabdi ternyata bukanlah jaminan dia dipermudah mendapatkan tunjangan profesi guru. Semua karena kebijakan yang menilai bahwa linieritas program studi adalah jaminan profesionalisme guru. Benarkah? Bisa saja benar, bisa juga salah. Tergantung dari sudut mana menilainya.
Benar, jika memang dilihat dari sudut pandang guru yang profesional dalam menjalankan tugas. Salah, jika dari sudut pandang guru yang mendidik hanya sekadar menggugurkan kewajiban.Â
Lantas bagaimana nasibnya? Hingga saat ini dia hanya bisa tetap bersyukur untuk tunjangan nonsertifikasi yang diterimanya. Suatu hari dia pernah berpikir mengadukannya kepada PGRI. Namun, tidak jadi. Dia tidak tahu bagaimana harus mengadu karena dia hanya berjuang sendirian.
Ada kekhawatiran pengaduan hanya akan sia-sia karena menyangkut kebijakan pusat. Yang bisa dia lakukan saat ini hanya terus berjuang memajukan pendidikan di sekolah dan daerahnya. Terlebih setelah lulus dan menyandang sebagai seorang pemimpin pembelajaran. Melalui berbagai kesempatan dia terus belajar lewat berbagi. Mengembangkan diri dan orang lain telah menjadi bagian dirinya.Â
Tanpa mengenal lelah dia berjuang melakukan perubahan di sekolah. Beberapa prakarsa perubahan pun dia lakukan. Pembentukan komunitas praktisi sekolah dia laksanakan.