Belakangan ini kita dibingungkan oleh fatwa MUI tentang keharaman vaksin MR. Hal ini wajar karena pemerintah sedang gencar kampanye vaksin MR untuk menghadapi serangan penyakit campak Rubella. Permasalahan bukan karena vaksin tidak penting, namun karena vaksin tersebut mengandung unsur babi dan turunannya. Â Beberapa daerah dilaporkan menghentikan imunikasi dengan vaksin MR karena keharamannya tersebut.Â
Nah, tiga hari lalu, 20 Agustus 2018, Â terbit fatwa MUI yang membolehkannya. Maka layak kalau muncul sejumlah reaksi spontan: "Kok bisa?" "Hukum kok bisa berubah-ubah?" "Jangan-jangan ada permainan nih"! Baiklah, mari kita cermati bunyi fatwa MUI tersebut yang diambil dari link https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180821084429-20-323825/isi-lengkap-fatwa-mui-soal-vaksin-mr-yang-kontroversial.
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor : 33 Tahun 2018
Tentang
PENGGUNAAN VAKSIN MR (MEASLES RUBELLA) PRODUK DARI SII (SERUM INTITUTE OF INDIA) UNTUK IMUNISASI
Dengan bertawakal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG PENGGUNAAN VAKSIN MR (MEASLES RUBELLA) PRODUK DARI SII (SERUM INTITUTE OF INDIA) UNTUK IMUNISASI
Pertama : Ketentuan Hukum
1. Penggunaan vaksin yang memanfaatkan unsur babi dan turunannya hukumnya haram.
2. Penggunaan Vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII) hukumnya haram karena dalam proses produksinya menggunakan bahan yang berasal dari babi.
3. Penggunaan Vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII), pada saat ini, dibolehkan (mubah) karena :
a. Ada kondisi keterpaksaan (dlarurat syar'iyyah)
b. Belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci
c. Ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal.
4. Kebolehan penggunaan vaksin MR sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku jika ditemukan adanya vaksin yang halal dan suci.
Kedua : Rekomendasi
1. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat.
2. Produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal dan mensertifikasi halal produk vaksin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Pemerintah harus menjadikan pertimbangan keagamaan sebagai panduan dalam imunisasi dan pengobatan.
4. Pemerintah hendaknya mengupayakan secara maksimal, serta melalui WHO dan negara-negara berpenduduk muslim, agar memperhatikan kepentingan umat Islam dalam hal kebutuhan akan obat-obatan dan vaksin yang suci dan halal.
Ketiga : Ketentuan Penutup
1. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata membutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal :
08 Dzulhijjah 1439 H
20 Agustus 2018 M
KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
PROF.DR.H. HASANUDDIN AF., MA
Ketua
DR.H. ASRORUN NI'AM SHOLEH, MA
Sekretaris
Dari kutipan lengkap di atas dapat dilihat bahwa MUI masih berkeyakinan bahwa dalam vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII) hukumnya haram karena  mengandung unsur babi. Dalam hukum, apapun bentuknya, ketika barang tercampur babi yang secara zat disebutkan dalam al-Qur'an sebagai benda haram, maka vaksin MR tetap dihukumi haram. Jadi, MUI tetap konsisten dengan temuannya.Â
Permasalahannya, kapan hukum haram berubah menjadi mubah? Tentu tidak mudah menjawabnya. Dalam fatwa tersebut, setidaknya, alasan utamanya adalah "kondisi keterpaksaan (dlarurat syar'iyyah)". Sejauh pengamatan saya, darurat baru bisa diberlakukan jika tidak ada pilihan lain dan kondisinya sangat membahayakan.Â
Misalnya, seseorang yang tersesat di tengah hutan boleh memakan bangkai hewan atau berburu babi jika memang tidak ada pilihan makanan lain dan dapat menyebabkan dirinya meninggal. Oleh sebab itu, penyakit campak rubella rupanya dianggap bahaya besar oleh pemerintah sehingga masyarakat wajib menggunakan vansin MR. Namun, jika tidak, maka hukum asal dari vaksin MR tetap berlaku, yakni tetap haram.Â
Hal ini sejalan dengan kaidah "Al-Dharuratu tubihu al-mahdhurat" yang artinya keadaan darurat (mendesak) dapat membolehkan melakukan sesuatu yang dilarang. Kaidah lainnya adalah "Yurtakabu Akhoff al-Dhararain li Ittiqa'i Asyaddihima", maksudnya melakukan yang lebih ringan di antara dua bahaya untuk menjaga dari yang lebih membahayakan. Jadi, MUI menilai bahwa bahaya campak Rubella lebih tinggi daripada menjaga diri terhindar dari konsumsi vaksin MR yang mengandung babi.Â
Hal yang lebih tegas juga sudah disebutkan MUI bahwa fatwa mubah ini memiliki durasi waktu. Artinya, ketika ada vaksin MR lain yang tidak mengandung babi maka kemubahan vaksin MR produk India seketika itu hilang dan murni haram.
 Hal ini sesuai dengan kaidah "al-hukmu yaduru ma'a illatihi wujudan wa adaman" artinya hukum itu berkembang sesuai dengan alasan di balik hukum itu, baik ada hukum maupun ketiadaan hukum. Inilah indahnya hukum Islam yang selalu mengikuti perkembangan zaman. Hukum Islam tidak serta merta kaku dan tidak memberi ruang sedikit pun. Semoga analisis singkat ini bermanfaat. Wa Allah A'lam.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H