Mohon tunggu...
Sudi Pratikno
Sudi Pratikno Mohon Tunggu... Penulis - Menghijaulah bersama tanah Indonesia

Kan ku dayung perahu kertasku sampai jauh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Toxic Attitude" dalam Diri Sendiri

28 Mei 2019   07:06 Diperbarui: 29 Mei 2019   06:31 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 3. Trilogi bekal dalam diri manusia. Sumber: Ilustrasi penulis

 Nafsu lawwamah membawa manusia kepada sifat terburu-buru, was-was, mudah marah, gelisah, dan self-control yang buruk. Kalau dalam bahasa psikologinya adalah out of control, dimana tubuh sulit dikendalikan karena mayoritas perilaku yang keluar bukan kendali dari intuisi dan naluri manusia melainkan telah diambil alih oleh si nafsu lawwamah ini. 

Kita pernah mendengar bahwa terburu-buru dan was-was yang dialami manusia adalah gangguan syetan. Hal ini secara nalar benar adanya, karena sifat manusia (human disposition) yang bermacam-macam, yang terpengaruh oleh nafsu lawwamah maka kemudian ditunggangi oleh bisikan syetan, maka sifat-sifat seperti terburu-buru dan was-was muncul. 

Nafsu lawwamah ini juga sering ditendensikan dengan nafsu hewani. Artinya nafsu yang hanya mementingkan kepentingan isi perut dan di bawah perut. Lebih lanjut, nafsu lawwamah yang muncul adalah hasil pertentangan dan perlawanan antara nafsu muthmainnah, hati dan akal. Kejadian-kejadian, sikap, dan sifat yang muncul seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah sifat yang muncul karena kemenangan dan penguasaan nafsu lawwamah ini. 

Nafsu lawwamah yang dibiarkan terus-menerus akan memunculkan dominasi dan kedigdayaan kerajaan nafsu tersebut. Lebih parah lagi jika nafsu ini telah berkembang pesat dan membentuk perilaku, kebiasaan, bahkan sampai menjadi watak. Tsumma naudzubillah. 

Menurut teori psikologi, seperti teori pembentukan perilaku classical conditioning, sebuah perubahan dan modifikasi perilaku akan sulit dilakukan jika perilaku tersebut telah menjadi watak dan kebiasaan. 

Hal ini karena watak telah mendarah daging dalam tubuh. Ibarat kertas putih, ia telah dicoret-coret oleh pena berulang kali hingga sulit dihilangkan, meskipun digunakan stipo untuk menghilangkannya, namun tidak akan dapat berubah seperti kertas putih yang utuh seperti semula. Mesikpun demikian, memang seyogyanya manusia itu tidak boleh menyerah begitu saja. 

Barangkali sebuah sikap buruk yang telah menjadi perilaku lumrahnya, dapat berubah suatu saat dengan kesadaran yang muncul dan hidayah dari Allah SWT. Baiklah, demikianlah nafsu lawwamah itu.

Kemudian lanjut pada nafsu muthmainnah. Nafsu ini indentik dengan ketenangan dan ketentraman. Ketenangan yang dimaksud bukan seperti Anda tenang-tenang saja saat melihat kejadian menentang syariat Islam, bukan pula seperti Anda tenang-tenang, leyeh-leyeh sambil nyinden di bawah pohon yang rindang, bukan. Tenang disini adalah stabil, terarah, dan penuh pertimbangan saat mengambil suatu tindakan dan sikap. Ada yang bilang bahwa nafsu muthmainnah ini adalah nafsu lawwamah yang di---"hajar"---oleh akal dan hati sehingga menjadi baik.

 Nafsu muthmainnah juga merupakan nafsu lawwamah yang dilemahkan dan dikendalikan. Nafsu muthmainnah dihajar dahulu oleh akal pikiran manusia untuk kemudian menjadi jinak. Dalam bahasa medis nafsu muthmainnah adalah nafsu lawwamah yang telah disterilkan. Begitu kurang lebih. Nafsu muthmainnah memang melekat dengan ketenangan. Ketenangan inilah yang menjadi lawan sifat tergesa-gesa.

 Kita ambil contoh saat KH. Hasyim Ash'ari sholat istikhoroh selama beberapa malam dan menunggu isyaroh dari Syechona Kholil Bangkalan untuk mendirikan NU. Inilah contoh dari nafsu muthmainnah dalam mempengaruhi seseorang bertindak. Mengmabil suatu sikap yang besar dengan penuh pertimbangan dan usaha bathiniyah. Kaitannya dengan hal tersebut, maka muncullah segitiga korelasi antara nafsu, akal, dan hati.

Gambar 3. Trilogi bekal dalam diri manusia. Sumber: Ilustrasi penulis
Gambar 3. Trilogi bekal dalam diri manusia. Sumber: Ilustrasi penulis
Ketiga komponen dalam diri manusia inilah yang harus seimbang. Karena apabila berat sebelah atau tidak imbang, maka akan terjadi ketidakstabilan emosi dan pikiran. Yang tentu akan berdampak pada perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun