Pada tanggal 11 November 1945 diselenggarakan Konferensi TKR yang digelar bersama dengan Presiden Soekarno dan Wapres Muhamamd Hatta. Konferensi ini membahas tentang peristiwa heroik pada tanggal 10 November 1945, strategi-strategi yang akan ditempuh jika terjadi serangan dari militer asing, dan reaksi dunia atas pertempuran 10 November.
Resolusi jihad NU yang telah berusia 73 tahun dan meninggalkan barisan tentara kedua di Indonesia yang disebut "Tentara Swasta" atau sering dikenal dengan istilah Banser (Barisan Serbu). Banser adalah laskar jihad sabilillah dan hisbulloh yang ikut berperang pada peristiwa 10 November 1945. Banser bukan bagian dari pemerintah, dan juga bukan bagian dari TNI.
Perbedaan yang mencolok pada waktu itu adalah jika TNI tidak mau perang kalau tidak dibayar, kalau Banser tidak mau dibayar dan siap mati membela Tanah Air. Inilah yang sering disebut-sebut oleh warga Nahdliyin sebagai "NKRI HARGA MATI".
Pembahasan bedah buku tersebut kemudian dilanjutkan dengan tulisan yang ditulis oleh Ben Anderson tentang Resolusi Jihad NU. Ini jelas menunjukkan bahwa fakta tentang adanya Resolusi Jihad NU pada pertempuran 10 November tercatat di sejarah, namun apa yang terjadi saat ini. Semua tampak tidak ada dan baik-baik saja bagi Pemerintah.
Padahal ini sebenarnya bentuk ketidaksiapan dan ketidapercayaan pemerintah terhadap adanya Resolusi Jihad NU. Mereka seakan tidak mau mengakui adanya fakta sejarah tersebut, dan yang lebih "lucu" lagi bahwasannya sejarah resolusi jihad NU ini ditulis oleh seorang warga Amerika. Kan aneh dan lucu sekali.
Warga Indonesia yang notabene memiliki sejarah ini tidak ada yang menulisnya bahkan hany segelintir orang yang mengetahui. Ironi di atas ironi, negeri yang sebegitu kaya dan luas, sejarah begitu sulit di dokumentasikan. Ah, sudahlah.
Kembali pada pembahasan Buku yang dikarang oleh Ben Anderson, di sana disebutkan tentang peristiwa Resolusi Jihad yang ternyata dimuat oleh Kantor Berita Antara. Jika dilihat awal mulanya proses kemerdekaan Indonesia, ternyata para perumus kemerdekaan Indonesia juga banyak yang dari kalangan kyai.
Berkorelasi dengan fakta tersebut, ternyata mesin ketik untuk mengetik teks proklamasi pada tahun 1945 adalah hasil pinjaman dari kedutaan Jerman di Batavia. Hal ini juga indikasi lain bahwa sejarah saat itu memang tidak memungkinkan untuk semuanya di dokumentasikan.
Kita saja masih pinjam mesin ketik pada kedubes Jerman, apalagi ingin mendokumentasikan semua fakta dan kejadian yang terjadi pada waktu itu. Jadi memang wajar jika selama ini terdapat konspirasi dan pemutarbalikan fakta, bahkan sampai terjadi manipulasi sejarah, tsumma na'udzubillah.
Sebagai generasi muda Nahdliyin, kita harus mampu berpikir jernih dan holistik tentang perkembangan sejarah yang ada di Indonesia ini. Oleh sebab itu, kacamata yang harus kita gunakan adalah kacamata emik yakni ditinjau dari berbagai sumber sejarah yang ada berdasarkan fakta, bukan menggunakan pandangan etik yang sering terjadi penyimpangan bahkan penghapusan peristiwa sejarah yang sebenarnya fakta terjadi di masa lampau.
Peran Belanda sebagai Penjajah juga rupanya telah membuat bangsa Indonesia tersesat. Menurut kacamata etik, karya seperti Babad Tanah Jawa, Babad Kediri, Pitung Sunda, itu adalah fakta sejarah berupa narasi legenda atau sejarah kontemporer dari pribumi Indonesia. Namun faktanya, kita dapat melihat dari kacamata emik (pandangan emik) bahwa cerita Pitung Sunda, Babad Tanah Jawa itu adalah karya fiksi buatan Belanda untuk menyesatkan bangsa Indonesia.