Santri dan angkringan adalah dua hal yang sangat identik dengan dunia pesantren serta memiliki korelasi yang sangat erat.
Santri secara bahasa adalah orang yang sedang berguru atau dalam bahasa arab disebut sebagai Utlubul 'Ilma (orang yang menuntut ilmu), sedangkan angkring secara epistemologi berarti tempat berjualan.
Angkringan sebagai media non formal dalam kegiatan bertukar informasi, media diskusi, juga tempat untuk hanya sekedar nongkrong menjadi bagian yang melekat dalam benak semua santri terutama santri yang ada di Jogja.
Barangkali manfaatnya tidak hanya itu saja, namun lebih luas lagi tergantung siapa yang berargumen dan memandang dari perspektif mana.
Di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, angkringan berjejeran di sepanjang jalan KH. Ali Maksum dan di sekitaran pondok. Banyak para santri menghabiskan waktu luangnya untuk pergi ngangkring (istilah yang lumrah ditemui saat Anda berada di Pondok ini). Sehingga muncul istilah "santri angkring" yang artinya santri yang suka pergi ke angkringan.
Jika di Madrasah Huffadz, teman-teman santri menghabiskan waktunya di angkringan setelah setoran alquran, atau saat ada waktu senggang. Hal tersebut juga terjadi di komplek-komplek lain di Pesantren Al-Munawwir.
Kebiasaan ngangkring santri berbeda di masing-masing komplek, misalnya di komplek K2 ada yang selesai ngaji kemudian ke angkringan, ada yang selesai wiridan pergi ngangkring, ada yang sambil menunggu waktu datangnya sholat maghrib pergi ke angkringan dulu, masing-masing dilakukan sesuai dengan minat dan suasana hati.
Ngangkring juga sering dianggap santri sebagai media refreshing dan hiburan. Saat tiba ajang pertandingan sepakbola nasional, internasional, maupun pada ajang liga, angkringan mendadak menjadi ramai karena dijadikan ajang sebagai tempat nobar, murah meriah, namun tidak murahan.
Itulah dunia santri yang tidak akan pernah terlupakan bagi siapa saja yang pernah mondok. Santri never ending.
Ngangkring memang ada dampak negatifnya, yang antara lain menjadi semacam candu semu dalam diri kita jika tidak pergi ke Angkringan. Fenomena ngangkring di dunia pesantren ini menarik untuk diamati karena berbagai aspek terlibat di dalamnya.Â
Berbagai kajian dapat dilakukan dari segi sosiologi, antropologi, biologi (misalnya berkaitan dengan kehigienisan makanan yang dijual), ekonomi, politik (ajang promosi barang dagangan, atau pemilihan ketua suatu perhimpunan tertentu), bahkan juga dapat ditinjau dari perspektif islam (misalnya angkringan itu dianggap bid'ah, dsb.).
Namun, pada kesempatan kali ini, akan ditinjau dari sudut pandang antropologi yang memandang ngangkring adalah aktivitas manusia sebagai makhluk sosial.
Pertama, jika kita melihat dan mengamati secara saksama, santri yang pergi ke angkringan adalah santri yang suka bersosialisasi, santri yang suka menghabiskan waktu senggangnya untuk bertemu dengan teman sesama santri, santri yang suka berdiskusi berbagai hal, namun tidak bagi santri yang memiliki kesibukan ekstra. Pagi kuliah, malam ngaji, shubuh wiridan, terus begitu sampai lulus hingga tidak ada waktu untuk ngangkring.
Pergi ke angkringan pun hanya untuk beli gorengan atau beli es jeruk dibungkus. Pergi ke angkringan juga menjadi hal yang abnormal bagi santri yang memiliki kepribadian introvert.
Kepribadian ini mencerminkan seseorang yang lebih asik dengan dirinya sendiri daripada bersosialisasi dengan orang lain. Mereka juga cenderung berhati-hati dan bepikir saat berinteraksi dengan orang lain serta lebih menutup diri dari kehidupan di luar. Santri yang nyaman dengan suasana yang tenang tidak terlalu bising dan jauh dari keramaian.
Santri yang suka menghafal Alquran di tempat yang sunyi sepi atau di waktu-waktu sepertiga malam. Santri dengan tipe kepribadian tersebut memiliki kesulitan dalam proses bersosialisasi dengan santri lainnya, berbeda dengan tipe santri yang memiliki kepribadian ekstrovert maupun ambivert.
Tipe kepribadian ekstrovert ciri-cirinya yakni dia suka bersosialisasi, menyukai interaksi dengan dunia luar, serta lebih banyak beraktivitas dan lebih sedikit berpikir, sedangkan ambivert adalah tipe orang yang suka bersosialisasi namun sewaktu-waktu bisa saja dapat tertutup apabila menemukan lingkungan yang tidak sesuai. Orang yang seperti ini lebih sulit ditebak karena dapat berubah-ubah pola perilakunya.
Tetapi dari kegiatan ngangkring ini ada satu pesan bijak yang berbunyi "ngangkring yo ngangkring, ning ojo lali ngajine, ojo lali sorogane, ojo lali wiridane, ojo lali tirakate". Ngangkring bukanlah hal yang mewah dan prestisius, namun ngangkring memberikan alur sosial yang terjadi secara berkesinambungan (continuously).
Kedua, ngangkring adalah sebagai ajang shodaqoh kita kepada pemilik angkringan. Logika pikirnya begini, darimana Allah memberikan rejeki kepada pemilik angkringan kalau bukan melalui perantara santri.Â
Melalui perantara santri, ada dua hal lebih yang akan diperoleh, yakni barokah dan doa dari santri akan memberikan manfaat bagi para pemilik angkringan.
Santri sebagai pewaris para kyai, para ulama, para wali, para nabi tentu tidak serta merta menghabiskan hartanya untuk keperluan yang tidak penting, sehingga doa yang terselip di antara koin dan lembaran rupiah kepada pemilik angkringan semoga memberikan barokah dan kebermanfaatan kelak.
Ketiga, Selain angkringan sebagai roda penggerak ekonomi masyarakat sekitar pondok, ada juga Burjo yang bergerak dibidang konsumsi.
Burjo ini ada agennya yang mereka ini berjaringan tersebar di sudut-sudut kota Jogja. Rata-rata yang menjaga burjo ini adalah orang sunda, berbeda dengan angkringan yang pemiliknya perorangan dan daerah asalnya berbeda-beda.Â
Bagi santri, makan di burjo terasa status sosialnya meningkat karena barangkali lebih berkelas dan lebih banyak menu makannya.
Artinya kalau dari sisi strata sosial, santri yang sering ke burjo dengan santri yang sering ke angkringan memiliki kebiasaan dan selera yang berbeda, begitupun strata sosialnya.
Burjo kalau di Jawa Timur itu adalah orang jualan bubur kacang ijo, atau jualan jenang ketan, namun kalau di Jogja ini burjo kebanykan malah jualan gorengan dan macam-macam menu lainnya.Â
Maklum lah berbeda tempat berbeda budaya, berbeda pula apa yang ada di dalamnya. Sehingga jangan kaget bagi Anda yang pernah mondok di Jawa Timur kemudian mondok lagi di Jogja atau yang aslinya dari Jawa Timur lalu memutuskan untuk mondok di Jogja pasti menemui budaya dan kondisi sosial yang berbeda.Â
Penyesuaian terhadap tempat dimana Anda tinggal merupakan bagian dari kecerdasan emosional (emotional quotient) seseorang dalam menempatkan dirinya pada agen sosial seperti Pesantren.
Keempat, setelah dipikir-pikir dengan berbagai pertimbangan yang rasional, di daerah Krapyak ini selayaknya atau bahkan harus ada pusat studi budaya islam (center of islamic studies), atau terlebih lagi diagendakan untuk pembangunan museum tentang Islam Nusantara.Â
Hal tersebut bukan tanpa alasan, karena begitu kayanya di Krapyak ini akan nilai budaya, kebiasaan sosial, serta ilmu-ilmu agama yang dapat dipelajari terutama dari Mbah Kyai Haji M. Moenawwir dan Mbah Kyai Haji Ali Maksum yang begitu populer di Indonesia dan dunia. Fenomena seperti kebiasaan ngangkring perlu dijadikan objek edukasi bagi para pendatang.Â
Field research dan need analysis perlu dilakukan oleh Dinas Sosial dan Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul. Perspektif bahwa Jogja adalah kota wisata sedikit demi sedikit dapat digeser bahwa Jogja tidak hanya kota wisata dan kota pelajar yang menonjol, akan tetapi juga kota santri.
Coba kita tengok di Malaysia, di daerah Putrajaya ada masjid Agung Putrajaya yang dijadikan sebagai tempat wisata selain menjadi tempat ibadah.Â
Para turis diberikan semacam sarung jika ingin memasuki masjid untuk area berfoto. Artinya pesantren, masjid, dan santri itu juga dapat dijadikan sebagai objek budaya untuk belajar, untuk menambah ilmu, atau bahkan bertukar pikiran, terutama bagi pendatang yang belum pernah berkunjung ke Jogja.Â
Bahkan mungkin saja diadakan semacam joint fenture antara ulama-ulama timur tengah, para pemikir dari timur tengah untuk studi banding atau difasilitasi untuk diadakan semacam summer course (istilah yang disematkan pada program pertukaran pelajar, dosen, tokoh intelektual selama beberapa bulan dalam rangka melakukan serangkaian kegiatan ilmiah maupun mempererat hubungan antara kedua belah pihak).Â
Banyak benefit yang diperoleh dari berbagai kegiatan tersebut, antara lain akan meningkatkan rating positif terhadap Jogja Istimewa, dapat menjalin ukhuwah islamiyah lebih erat dengan ulama timur tengah, dapat saling bertukar informasi, ilmu pengetahuan, dan kajian keislaman, serta manfaat lainnya.
Kembali lagi kepada santri. Santri memang berpenampilan biasa dan santai, namun di dalamnya terdapat bakat yang terpendam dan ledakan masa depan. Para kaum sarungan (sebutan santri) adalah para generasi muda bangsa yang sesungguhnya.
Santri sebagai ujung tombak pembentukan karakter luhur, karena mereka mengenyam dan mendalami karakter-karakter mulia itu tidak berupa teori dan buku-buku tebal, namun praktik dan praktik setiap hari (niti laku).Â
Praktik setiap hari akan membentuk perilaku, watak, dan menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang berkembang dari waktu ke waktu akan membentuk kepribadian yang melekat dalam diri.Â
Kepribadian yang baik akan memberikan nilai tambah bagi siapa saja yang memiliki dan menjalankannya. Contohnya saat pergi ke angkringan pun mereka mengedepankan akhlak dan sopan santunnya.
Bahkan orang yang punya angkringan sampai hafal dengan santri yang sering ngangkring dan tidak heran jika mereka mengangap santri-santri ini sebagai anaknya.
Santri dan angkringan ibarat dua sisi kertas yang saling melengkapi. Sebagai penggerak perekonomian, para pemilik angkringan membuka angkringannya untuk mengais rejeki, rejeki dari mana? yakni dari "sedekah" para santri setiap kali ngangkring.Â
Bahkan kemuliaan hati seorang pemilik angkringan sangat tinggi, saat santri tidak membawa uang dan mereka terpaksa berhutang, mereka tetap dibolehkan dengan senyuman hangat.Â
Sedangkan bagi santri, media angkringan adalah ajang berdiskusi, bertukar informasi, saling mengenal satu sama lain agar lebih akrab atau sebagai wadah dalam bersilaturahim antara alumni pondok dengan santri, dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar lingkungan pondok pesantren.
Saat Anda berkunjung ke Krapyak, Yogyakarta, cobalah untuk mengunjunginya di sore hari. Susana pesantren sangat kental disini. Mirip sekali dengan suasana di Tebuireng, Jombang atau di pesantren-pesantren lain di Indonesia.Â
Saat melihat dan mengamati kehidupan pesantren itu nyenengke di hati, teman. Anda dapat meresapi, mengolah dalam hati, dan mensintesiskan apa arti dan makna yang dapat diambil dikala Anda berada dalam riuhnya suasana senja di Krapyak.
Di belahan dunia manapun tidak akan pernah Anda temui suasana semacam ini, kecuali di Indonesia. Di Eropa, Amerika, Singapura, Malaysia, tidak akan ada iklim semacam ini.
Bersyukur sekali di Jogja ini ada tempat seperti di Krapyak ini karena mayoritas masyarakat Jogja adalah kaum Muhammadiyah.
Wallhu A'lam Bisowab.
(Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H