Bilamana Paulo Freire menuliskan tentang Pendidikan yang Membebaskan maka dalam seni juga memiliki semangat yang sama. Seni sebagai suatu aksi adalah suatu proses edukasi.Â
Berkarya seni apapun mendidik kita untuk menunaikan  kebebasan berkreasi yang bertanggungjawab. Ngomong ngomong soal sketsa, tulisan ini adalah tentang keberadaannya sebagai seni yang membebaskan.
Karakter SketsaÂ
Sketsa sebagai olah rupa dua dimensi memiliki karakter spontan dan ekspresif menangkap suatu fenomena bentuk dengan tingkat kecepatan waktu yang terbatas. Mirip seperti kamera foto, maka sketsa menangkap fenomena yang dipersepsikan kemudian diolah kembali menjadi bentuk rupa.
Hasilnya bersifat subyektif karena sangat tergantung persepsi sang perupa maupun kemampuan teknisnya. Kembali seperti kamera tergantung bagaimana menggunakan perspektif, menangkap fokus yang akan ditampilkan dan resolusi teknis. Dan sketsa lebih kompleks karena unsur rasa disamping pengalaman sangat berperan.
Sketsa yang baik seperti apa ? Tentunya representatif atau bisa mewakili apa yang menjadi wujudnya. Mensketsa pemandangan kota yang sibuk misalnya harus memperlihatkan bagaimana gerak dalam aktivitas yang tergambar. Menggambarkan dinamika ini menjadi kepiawaian perupa.Â
Sketsa yang baik dibuat dengan waktu terbatas, karena terkadang obyek yang dijadikan subyek sketsa bergerak cepat atau berganti posisi sehingga harus cepat. Kemahiran mengekpresikan tersebut adalah ciri para perupa sketsa atau sketser.Â
Waktu belajar awal mensketsa dengan para sketser Surabaya tahun 1990 an, saya ditekankan untuk tidak mengulang garis. Garis harus tegas, tidak boleh dua kali. Ini ciri khas sketsa. Artinya seorang sketser harus memiliki keberanian atau dengan kata lain mempunyai jiwa merdeka tidak tergantung pada penilaian pemirsa.Â
Kebebasan BerkreasiÂ
Setiap kali membuat sketsa atau mensket yang baik adalah melakukan dengan ekspresif. Tindakan ekspresif adalah suatu tindakan yang ditujukan mengekspresikan apa yang ada di dalam pikiran dan mewujudkan dalam bentuk rupa. Â
Kekuatan ekspresi ini dituangkan dalam garis garis, sapuan, tekanan, berhenti, memulai dan menajamkan suatu fokus. Rasa memiliki peran yang sangat penting dalam menskets, dengan cara tidak ragu ragu yang bisa diamati dari bagaimana wujud rupa ditorehkan.
Melalui sketsa inilah kekuatan rasa diperkuat sehingga menyatu dengan tindakan kita merupa (membentuk). Boleh jadi sketsa adalah bagian dari seni ekspresionis, yang mengutamakan rasa dalam mengekspresikan rupa.Â
Melalui media hitam putih, ekspresi sketsa juga nampak dengan kekuatan blok, atau rendering yang membentuk ruang hitam putih. Kita bisa melihat pada sketsa pensil atau charcoal, yang memang dibuat untuk tidak selesai tetapi bisa dinikmati sebagai suatu karya paripurna. Sketsa warna juga memiliki kekuatan yang dahsyat  karena selain goresan juga blok warna membentuk rupa yang diinginkan.Â
Nah bagaimana dengan " seni yang membebaskan " ? Kalau tidak ada keberanian atau keputusan melakukan dengan bebas, karya sketsa akan menjadi karya yang ragu ragu, sekalipun secara teknis bagus.Â
Karya Affandi misalnya itu kalau diamati sebenarnya dapat dikategorikan  sebagai sketsa yang memiliki kompleksitas tinggi. Mengapa demikian ? Affandi telah memiliki olahrupa dan olahrasa yang tinggi sehingga keduanya dapat diwujudkan dalam suatu karya. Â
Lukisan lukisan karya Affandi memiliki dinamika garis, warna maupun spirit yang mungkin hanya bisa dirasakan oleh para peminat dan pencinta seni rupa. Â Jangan lupa olahrupa dan olahrasa yang dibebaskan.Â
Dengan pemikiran seperti itu, maka  sketsa bisa dimanfaatkan bagi para siapa saja yang belajar desain, untuk mengungkapkan dan belajar secara merdeka memilih dan terpenting bertanggung jawab atas karyanya. Tidak heran para arsitek kelas dunia yang piawai dalam sketsa.
Bekasi, 27 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H