Entah yang keberapa kalinya aku dengan tidak sengaja nonton video di YouTube dan di Grup WA ini. Awalnya aku biasa saja melihatnya tanpa tergores perasaan apapun di benakku, namun ketika aku melihatnya lebih dari satu kali mulai fikiranku menggeliat ke sana dan kemari berusaha untuk memahaminya.
Akupun tak tahu, siapa gerangan yang mengunggah video ini pada awal kalinya. Video yang mengisahkan percakapan kegalauan anak ayam dengan induknya. Anak ayam merasa iri kepada manusia. "Ma, kenapa kita tidak seperti manusia ya? Manusia itu banyak gelarnya, baik gelar akademik maupun non akademik, bahkan ada yang marah jika dipanggil dengan tidak disertai gelarnya," lanjut ungkapan anak ayam pada induknya.Â
Induk ayampun memperhatikan anaknya dengan segenap kepenuhan, sambil terseyum menjelaskan kepada anak-anaknya; "Tak apalah nak" jawab induk ayam sambil mencakar-cakar tanah. "Manusia itu memang begitu, jika masih hidup memang banyak gelarnya karena memang diupayakan tapi nanti setelah mati gelarnya hanya satu, yaitu jenazah atau mayat".
Anak-anak ayam memperhatikan dengan seksama nasehat induknya. Kemudian induk ayam melanjutkan penjelasannya; "Lain halnya dengan kita. Kalau masih hidup kita hanya memiliki satu gelar sebagai ayam, tetapi nanti setelah mati gelar kita lebih banyak bahkan lebih disukai dari manusia. Tanpa kita cari gelar itu akan diberikan manusia kepada kita, ada yang memberi nama ayam geprek, ayam bakar, sate ayam, rendang ayam, ayam balado, dan masih banyak lagi namanya yang diberikan kepada kita dan nama-nama itu adalah nama yang disukai serta selalu dicari manusia. Apalagi ayam geprek, sekarang ini lagi viral, hampir setiap kota ada yang menyajikan ayam geprek dan divavoritkan manusia". Â Â
Kisah ini, mungkin ada yang menganggapnya hanyalah sekedar kisah anekdot untuk dijadikan bahan hiburan penghilang rasa penat karena kerja seharian. Awalnya akupun begitu ketika nonton seorang Ustadz menceritakan kisah ini di depan jama'ah-nya. Kutonton video itu dengan senyum dalam kesendirian, namun setelah beberapa kali kutemukan video ini di lain waktu yang disampaikan oleh orang yang berbeda dengan gaya berbeda pula, akupun mulai merenung.
Betapa tidak, sekian tahun aku menjalani profesiku dalam kesehariannya sebagai seorang guru yang seharusnya dalam setiap langkahku dapat dijadikan sebagai suri tauladan bagi murid-muridnya, bahkan oleh masyarakat di sekelilingnya sehingga setelah meninggalkan dunia yang fana ini namanya masih tetap terkenang dan hidup dalam wujud menyandang gelar lain yang menginspirasi setiap orang yang mengenangnya.
Sebagaimana nasehat Pantun Melayu: "Pulau pandan jauh di Tengah, dibalik pulau angsa dua. Hancur badan dikandung tanah, budi baik terkenang jua".
Guru merupakan satu profesi yang memiliki tugas dan fungsi sebagai pengemban risalah suci karena tanggungjawabnya serta kehadirannya tak bisa digantikan oleh sosok yang lain. Tugas guru tidak hanya sekedar menyampaikan ilmu pengetahuan dan pemenuhan tuntutan profesi secara administratif, akan tetapi guru itu memiliki konsekwensi moral dan spiritual untuk membawa murid-muridnya mencapai bahagia di alam keabadian.
Namun kenyataanya, masih banyak guru yang belum menyadari tugas mulya ini. Terlebih seperti di zaman sekarang ini yang semakin materialistik sehingga guru dihadapkan pada generasi digital yang cenderung memiliki kebebasan untuk mengekspresikan ide dan kemauannya yang terkadang tidak lagi memperhatikan norma-norma yang ada.
Dalam kondisi seperti ini, diperlukan kecerdasan tersendiri bagi seorang guru dalam memfungsikan dirinya sebagai pengajar dan pendidik sehingga bisa dijadikan model bagi anak didiknya karena dalam melaksanakan tugas sehari-harinya seorang guru tidak bisa lepas dengan perhatian anak muridnya. Tidak sedikit murid yang mengidolakan gurunya lantaran punya kekhasan dalam cara mengajar atau mendidiknya, bahkan tidak sedikit guru yang dianggap sebagai pengganti orang tuanya di rumah sehingga dijadikan tumpahan curhat yang tak mudah terlupakan.
Guru yang bijaksana dan berwawasan ke masa depan anak didiknya senantiasa akan bertanya kepada dirinya sendiri; "Guru seperti apakah aku ini di depan murid-muridku? Apa yang harus kulakukan untuk murid-muridku?"
Dua pertanyaan sederhana ini tentunya merupakan pertanyaan yang mendasar bagi seorang guru. Dengan bekal dua pertanyaan ini seorang guru akan senantiasa berkreasi, inovasi tiada henti (pinjam motto Suzuki), dan selalu update dengan kebaruan.
Guru yang mampu menyesuaikan dengan zamannya akan divavoritkan oleh anak-anak didiknya serta akan melalui tugasnya sepi dari keluh kesah, ia akan masuk ke kelasnya dengan menaburkan senyum harapan sebagai pembangkit semangat belajar. Guru yang demikian tentunya akan memperoleh gelar dari murid-muridnya secara tulus, sebagai; Guru Murah Senyum, Guru Inspiratif, Guru Penyamangat, Guru Penampung Galau, Guru Penghilang Kesedihan, dan masih banyak lagi gelar-gelar keikhlasan yang diberikan oleh murid-muridnya dan orang-orang yang ada di sekilingnya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H