Pagi itu, setelah menikmati lontong pical telur di Pical Ayang sebuah rumah makan kuliner legend yang terletak di Simpang Atas Ngarai kota Bukittinggi aku lanjutkan perjalanan dengan tujuan Lembah Harau yang tidak jauh dari Kota Payakumbuh, Kabupaten Limapukuh Koto.
Dalam perjalanan itu aku terhibur dengan gelak tawa mereka yang menyertaiku yang sesekali terdengar diantara alunan lagu Minang yang enak kudengar meskipun aku tidak faham sepenuhnya akan maknanya.
Aku memang baru pertama kali hadir ke Pulau Sumatera bagian barat ini sehingga dengan antusias aku menikmati sepanjang perjalanan sambil sesekali mengajukan pertanyaan kepada Pak Yosef yang mengemudikan Xpander dengan lihai itu.
Beberapa nama kota atau kabupaten di Sumatera Barat ini memang ada yang sudah lama aku dengar ketika aku membaca buku-buku karya Buya Hamka seorang ulama dan pujangga dari Danau Maninjau itu.
Tiba-tiba teringat aku akan pantun Melayu: "Payakumbuh Selat Malabar, Anak ular di atas bilah. Baik sungguh berhati sabar, Orang sabar kekasih Allah". Pantun ini kuucapkan ketika melalui Kota Payakumbuh, sehingga pecah gelak tawa mereka yang di dalam mobil.
Beberapa waktu kemudian, Pak Yosef bilang; "Kita sudah memasuki area Lembah Harau pak, kita berputar lewat sana" sambil menunjuk ke arah jalanan berliku di bawah tebing itu.
"Subhanallah, indah nian tempat ini !" suara dalam hatiku dalam ketertegunan menyaksikan pemandangan yang menakjubkan itu. Memang tempat itu sempat membuatku berkata "Wow" dalam kebisuan.
Lembah Harau merupakan sebuah lembah ngarai dan cagar alam yang berupa perbukitan bergelombang dan diapit oleh dua bukit cadas yang terjal dengan ketinggian diperkirakan mencapai 100 sampai 500 meter. Udaranya yang dingin dan asri ini sangat menyenangkan bagi pengunjungnya karena selain dari bisa menghirup udara segarnya juga bisa melihat keindahan alam sekitarnya yang berupa tebing granit menjulang tinggi dengan bentuknya yang unik mengelilingi lembah itu. Beberapa tebing itu dihiasi pula dengan air terjun yang menambah daya tarik tersendiri dan semakin memukau setiap pengunjungnya.
Ketika aku turun dari mobil untuk mengambil gambar dengan pose khasku sebagai dokumentasi, tiba-tiba pandangku terpesona terhadap sebatang kayu kering yang sudah tak utuh lagi. Lamunanku teringat film laga petualangan Mak Lampir seorang nenek sakti dengan kisah silmuan harimau dari desa Kayu Sebatang yang konon kisah itu berada di Sumatera. Ach, kok jadi ingat filmnya Mak Lampir ?
Aku segera memalingkan pandangku untuk memandangi keindahan Lembah Harau dengan takjubnya. Lamunankupun mengembara kemana-mana. Tempat ini memang indah, tetapi ketika kulihat tingginya bukit cadas menjulang yang mengelilinginya itu bermunculanlah pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di hatiku: "Jika seandainya terjadi banjir dengan genangan air yang melimpah memenuhi lembah ini, akan lari kemanakah aku? Bisakah aku selamatkan diri bersama orang-orang yang hadir di situ? Adakah yang akan memberikan pertolongan?" dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang menggetarkan hatiku sehingga aku terasa kecil dan hampa diantara bentangan alam luas ciptaan Ilahi yang Maha Luas ini. Benar-benar aku menyerah, runduk pasrah dalam ketakberdayaan memikirkan kebesaran ciptaan-Nya berupa alam raya ini.
Lembah Harau memang memikat pengunjungnya, tak terkecuali aku, dengan rayuan keindahan alamnya yang disertai fasiltas penginapan berupa homestay menawarkan diri untuk dikunjungi. Pendek kata, Lembah Harau merupakan tempat yang patut dan harus dikunjungi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H