Mohon tunggu...
Tia Suci
Tia Suci Mohon Tunggu... Jurnalis - --

--

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pilihan Dilematis Anak Panti Asuhan

1 Juli 2019   09:23 Diperbarui: 1 Juli 2019   09:33 3064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) atau yang sering kita sebut sebagai panti asuhan adalah salah satu lembaga yang memberikan pelayanan sosial kepada anak yatim, yatim piatu, dan anak terlantar, hal ini menurut Kepmensos No.50/HUK/2004. 

Lembaga ini jelas memiliki tujuan mulia agar anak-anak bisa mendapatkan kehidupan yang layak, paling tidak hingga anak itu beranjak dewasa, sampai ia mampu bekerja untuk mencukupi kehidupannya sendiri.

Jika selama ini kita beranggapan bahwa anak yang tinggal di panti asuhan itu hanyalah anak yatim piatu, maka jawaban itu kuran tepat karena pada bulan November 2018, terdapat sebuah temuan oleh Kementrian Sosial Republik Indonesia, bahwa sekitar 67 persen anak yang tinggal di panti asuhan masih memiliki keluarga, baik keluarga inti maupun kerabat dekat. 

Pada keluarga inti sendiri biasanya sudah tidak utuh lagi. Bisa jadi itu karena salah satu diantara orang tuanya sudah tidak ada atau bisa juga disebabkan perpisahan kedua orang tuanya akibat perceraian. 

Pada kerabat dekat sendiri adalah yang masih memiliki hubungan dekat dengan si anak atau kedua orang tuanya seperti kakek, nenek, paman, atau bibi

Dilansir oleh http://indopos.co.id  penemuan ini dituturkan oleh Dirjen Rehabilitasi Sosial Kemensos Edi Suharto pada 5 November 2018. Beliau juga mengatakan jika jumlah anak yang tinggal di panti asuhan ada sebanyak 500 ribu hingga 600 ribu jiwa. 

Sementara itu, jumlah panti asuhan di seluruh Indonesia sekitar 7.000 unit. Maka dari itu, dengan masih adanya keluarga Kemensos mengupayakan sebuah program pengasuhan alternatif. 

Pada program ini pihak dari Kemensos akan mencari tahu keluarga dari anak-anak panti. Dengan itu maka anak panti bisa dikembalikan ke orang tuanya. 

Menurut Edi, pengasuhan dari keluarga adalah yang lebih baik dari pengasuhan panti asuhan. Jika tidak memiliki keluarga maka anak tersebut akan dicarikan keluarga asuh. Lebih lanjut beliau menegaskan jika pengasuhan anak paling berkualitas ada di keluarga.

Dengan adanya informasi tersebut, kami berkesempatan untuk mengunjungi sebuah panti asuhan, yakni Panti Asuhan Nurul Iman, yang berada di bilangan Cinere, Depok. 

Panti ini merupakan bagian dari Yayasan Al-Hidayah yang sudah berdiri sejak tahun 1970-an. Yayasan ini mencakup lembaga formal seperti TK, SD, SMP, dan SMK juga lembaga non-formal salah satunya adalah panti asuhan yang dihuni oleh anak dan remaja kisaran 6 hingga 18 tahun.

Seperti panti asuhan pada umumnya, Panti Asuhan Nurul Iman pun juga memiliki asrama sebagai tempat tinggal anak-anaknya. Akan tetapi tak semua anak yang berada dibawah naungan panti asuhan tersebut ini menetap di asrama. 

Sebagian besar dari mereka menolak untuk tinggal di asrama walaupun tidak memiliki orang tua. Dari 220 anak panti hanya ada 39 anak yang menetap untuk tinggal di asrama.

Kami pun menemui salah satu anak yang saat itu berada di asrama putri. Ia sedang menyapu dan terlihat malu saat kami menghampirinya. Katanya ia ingin bersiap untuk suatu acara santunan dan buka puasa bersama di dekat Cinere Mall. 

Diar, begitu ia kerap disapa, merupakan remaja berusia 16 tahun yang setahun belakangan ini telah menjadi bagian dari Panti Asuhan Nurul Iman.

Dengan malu-malu ia mengakui jika orang tua yang tersisa hanyalah ayahnya yang merupakan seorang buruh mabel dan kini tinggal di kampung halamannya, Cirebon. 

Diar awalnya terpaksa berada di panti tersebut karena sang ayah yang kurang mampu untuk menjamin kehiduan dan pendidikan yang layak untuknya.  Gadis pemalu ini pun sedikit bercerita jika di panti asuhan ini ia merasa lebih baik.

"Suka disini banyak teman, terus lebih terjamin (kehidupan dan pendidikan)," ujar Diar.

Mengenai asal-usulnya dari kota yang jauh dari lokasi panti pun membuat kami bertanya mengenai dirinya yang bisa sampat ke panti asuhan tersebut.

Diar menjelaskan bahwa ayahnya menghubungi salah seorang sanak keluarganya yang tinggal di sekitar Panti Asuhan Nurul Iman mengenal pemilik asrama panti asuhan sehingga ia dititipkan disana.

"Jadi ceritanya, saya punya oom, nah oom saya kenal sama yang punya asrama ini. Jadi saya dimasukan kesini (panti asuhan) oleh oom saya," jelas Diar.

Jika sebelumnya ia mengatakan senang berada di panti asuhan karena banyak teman dan kehidupannya terjamin. Ia harus merelakan waktu bersama ayahnya yang berada di kampung halaman.

"Sedih (di panti asuhan), karena saya jauh dari orang tua," ujarnya dengan pancaran kesedihan yang tak dapat disembunyikan.

 Tak lama, ia kembali dengan senyum malunya dan menjelaskan kehidupannya di panti asuhan tersebut. Tak hanya kehidupan dan pendidikan yang terjamin, ia juga harus disiplin untuk bisa tinggal disana.

"Iya (harus disiplin). Bangun jam 4 pagi, harus. Kalau gak bangun diomeli pengurus asrama," ujarnya sambil bersemu.

Saat kami tanyakan mengenai pengetahuannya tentang anak panti asuhan tersebut yang memiliki orang tua yang masih lengkap, gadis yang kini duduk di kelas 1 SMK Al-Hidayah ini mengakui jika ia tau mengenai hal tersebut. Tak ingin berkomentar lebih jauh ia hanya memberikan jawaban jika mereka yang masih memiliki kedua orang tua nenitipkan anaknya karena kondisi keluarga yang kurang mampu.

Diar juga tak ingin terus terusan berada di panti tersebut. Biar begitu, ia tinggal di asrama panti asuhan hanya karena ingin bisa sekolah paling tidak sebatas SMK. Begitu pula harapan sang ayah yang ingin anaknya mendapat kehidupan yang layak di panti asuhan.

"insyaallah di panti sampai nanti lulus (sekolah)," tutup Diar.

Pada kesempatan yang sama kami berhasil menemui salah satu pengurus Panti Asuhan Nurul Iman. Berhasil ditemui di kantornya, Arik, yang kini dipercaya untuk mengawasi bagian administrasi dan keuangan Panti Asuhan Nurul Iman, menjelaskan terlebih dahulu jika panti asuhan peninggalan kakeknya ini merupakan panti asuhan resmi. 

Sambil menjelaskan ia pun mengeluarkan surat keterangan panti asuhan yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial Kota Depok sebagai bukti jika panti asuhannya ini bukanlah panti asuhan abal-abal yang asal menerima anak yang masuk.

Disamping itu Arik menjelaskan jika anak yang masuk ke Panti Asuhan Nurul Iman sebelumnya telah di telusuri terlebih dahulu, hal ini bertujuan untuk mendapatkan sebuah kebenaran jika anak tersebut memang pantas untuk masuk ke panti asuhan.

 Tanpa mengelak saat kami tanyakan mengenai kebenaran akan adanya anak panti asuhan yang masih memiliki keluarga, Arik mengakui jika itu benar adanya. Mereka merupakan anak yang berasal dari kalangan dhuafa, hingga saat ini jumlahnya ada sebanyak 5 orang.

"Anak panti di sini diseleksi, jadi kalau missal orang tuanya tidak mampu atau dhuafa contohnya pemulung yang mau sekolah tapi tidak punya biaya dan kita sekolahkan di sini (sekolah yayasan). Kalau dhuafa diseleksi dari surat keterangan miskin baru ke sini. Kalau yatim/piatu hanya butuh surat kematian. Tapi biasanya (yatim piatu) kita datangi dan tanya berapa anak yang ditinggalkan, lalu kita biayai," terang Arik.

Pembiayaan anak yang ditampung pun didapatkan dari donator, bukan dari badan pemerintahan lain seperti Dinas Sosial atau kementrian. Meski demikian, Arik tidak khawatir karena anak-anak yang ada di panti tersebut masih bisa bersekolah di sekolah milik yayasan tanpa dipungut biaya.

"Pembiayaan bersumber dari para donator, pernah ada Menteri (yang menyumbang secara personal). Bantuan (biaya) dari pemerintah itu gak ada. Paling kita hanya dapet bantuan sekedar alat-alat gitu. Seperti lemari, computer. Anak panti bebas biaya. Karena ada (sekolah) Yayasan Al-Hidayah yang terbuka untuk anak umum. Khusus anak panti asuhan yang tinggal di asrama, belajar tidak perlu mengeluarkan biaya," ujarnya lega.

Kembali pada pernyataan dari Kementerian Sosial Republik Indonesia, Arik mengingat jika hal itu sempat disinggung juga oleh Dinas Sosial Kota Depok. 

Lelaki yang sejak kecil hidup di lingkungan Yayasan Al-Hidayah ini pun merasa tidak khawatir walaupun ada beberapa anak panti asuhannya yang masih memiliki orang tua. Ia bisa menjamin itu karena data-data yang ia pegang saat menyeleksi anak yang akan masuk ke panti tersebut.

"(Mengenai pernyataan kemensos) Saya pernah dengar itu dari Dinsos Kota Depok. Ada beberapa panti asuhan yang diakui Kota Depok. Kita juga ada  EMIS (Education Management Information System) untuk data-data anak yatim.

 Dan kita sudah (mendata secara terpisah) anak yatim berapa, anak dhuafa sekian. Nanti lihat juga  keadaan orang tuanya. Kalau disini benar-benar di data yang benar-benar tidak mampu. 

Ada yang orang tuanya nitipin ke kita (panti asuhan), ada yang memang dari bayi sudah ditinggal kabur sama bapaknya atau sama ibunya, sampai dia sudah dewasa tidak kenal bapaknya, itu banyak. Untuk yang di tempat saya (Panti Asuhan Nurul Iman) ini anak dhuafa hanya beberapa orang saja, kita juga gak ngambil karena kasihan, kita hanya pilih-pilih yang mau untuk belajar. 

Kalau hanya untuk main-main saja, disini kita tidak terima. Kalau disini untuk belajar untuk masa depan dia, silahkan (masuk ke Panti Asuhan Nurul Iman). 

Ada dari (pemerintah) Depok memberi tahu soal penrnyataan kemensos, tapi kita tidak apa-apa, karena kita yang lihat keadaan kayak gimana. Kan dia (pemerintah Depok) tidak tahu, bukan orang lapangan," tegas Arik.

Arik secara pribadi merasa keberatan jika benar-benar ada pemulangan anak panti asuhan yang masih memiliki keluarga. Ia menghawatirkan bagaimana kehidupan anak itu jika taka da uluran tangan dari panti asuhan, baik itu panti asuhan yang dikelolanya maupun panti asuhan lainnya. Mungkin pengasuhan dari keluarga itu bagus, tapi arik berpikir lagi bagaimana jika hal lain, seperti pendidikan contohnya, tidak dapat terpenuhi.

"Anak-anak disini kan karena mau belajar. Jadi kalau dipulangkan begitu saja melanggar amanat walaupun dia bukan yatim (melainkan dhuafa). Kan sudah ada di (kitab suci), anak yang terlantar, anak ini harus diurusi. Mungkin negara mau mengurusi dari Dinas Sosial, tapi kalau anak ini mau sekolah ya kita bantu, masa kita diam saja di wilayah kita sendiri. 

Ada tidak pemerintah yang bisa menangani dia (anak terlantar) di wilayah Cinere ini? Satu persatu dilihat (oleh pemerintah) keaadaan anak-anak itu bagaimana walaupun dia orang pendatang. Tapi kalau disini, misalnya mereka datang untuk belajar, ya silahkan. Tapi kita garis bawahi ini anak dhuafa, ini anak yatim," tutup Arik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun