Anak adalah generasi yang akan menjadi penerus bangsa karena itu mereka harus dipersiapkan dan dibimbing sejak dini supaya tumbuh dan berkembang menjadi anak yang sehat jasmani, rohani, mandiri, dan sejahtera menjadi sumber daya yang kompeten dan mampu menghadapi tantangan masa depan. Sebagaimana yang telah diatur dalam UU Perlindungan Anak  No. 23 tahun 2002 bahwa setiap anak berhak untuk tumbuh dan berkembang sehingga orang tua dilarang menelantarkan anaknya. Orang tua dikenakan sanksi hukuman penjara yang cukup berat, termasuk juga perusahaan yang mempekerjakan anak di bawah umur.
Begitu seriusnya permasalahan pekerja anak, sehingga Indonesia sudah membuat aturan yang memberikan perlindungan hukum bagi pekerja anak yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam Undang-Undang ini disebutkan bentuk dan persyaratan anak yang boleh dipekerjakan dalam suatu usaha. Pasal 68 Undang-undang No 13 Tahun 2003 menegaskan "pengusaha dilarang memperkejakan anak". Pelarangan dalam pasal 68 ini bertujuan agar tidak ada pekerja anak. Namun, karena pelanggaran ini bersifat mutlak, melainkan ada beberapa pengecualian, maka dalam Undang-undang No. 13 Tahun 20003 memberikan kesempatan adanya pekerja anak. Akan tetapi harus ada perlindungan hukum baik untuk pekerja anak yang kemungkinan keberadaannya dimungkinkan oleh Undang-Undang tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa perlindungan terhadap pekerja anak menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah harus ada surat izin dari orang tua atau wali, perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau walinya hanya boleh melakukan pekerjaan ringan, waktu kerja maksimal 2 (dua) jam perhari, waktu kerja tidak boleh mengganggu waktu sekolah, menerima upah sesuai dengan ketentuan waktu, harus ada jaminan kesehatan kerja, dan jaminan keselamatan kerja. Adapun hak-hak pekerja anak menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah hak mendapatkan kelangsungan hidup, hak atas perlindungan, dan hak untuk berkembang.
Pasca berlakuknya Undang-Undang Ketenagakerjaan seharusnya mampu memberantas jumlah pekerja anak, namun masih banyak data jumlah pekerja anak. Badan pusat statistik (BPS) mencatat tahun 2020 terdapat 3,25 Â persen anak yang berusia 10-17 tahun yang bekerja., menurun menjadi sebesar 2,63 persen pada tahun 2021. Meskipun 2021 jumlah pekerja anak usia 15-17 tahun menurun, tetapi masih banyak pekerja anak ditemukan di wilayah pedesaan, dan sangat menghawatirkan.
Lalu bagaimana upaya yang dilakukan untuk melindungi dan mewujudkan bebas pekerja anak? Bukankah dengan berlakunya UU Ketenagakerjaan pekerja anak bisa dilindungi?
Pengefektifan Peraturan Perundang-Undangan
Pada dasarnya hukum tidak hanya berisi larangan, perintah, dan membebankan kewajiban-kewajiban tertentu, tetapi ada juga pengecualian-pengecualian tertentu. Khususnya dalam UU Ketenagakerjaan pengaturan hak dan kewajiban dalam UU ini menempatkan posisi pekerja dan pengusaha, kewajiban-kewajiban apa yang harus diberikan, dan hak-hak apa yang dapat dituntut oleh salah satu pihak ke pihak lainnya. Hubungannya dengan pekerja anak, peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan memberikan pengecualian terhadap anak yang bekerja, khususnya larangan-larangan tertentu bagi pekerja anak yang bekerja atau terpaksa bekerja di sektor informal.
Menurut saya, dalam rangka mencegah pekerja anak, maka perlu diefektifkan berlakunya Undang-Undang  Nomor 13 Tahun 2003 tentang  Ketenagakerjaan, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang pada dasarnya melarang anak untuk berkerja baik di sektor formal maupun non formal.
Melakukan Pengawasan Terhadap Pentaatan Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan
Menurut Robert B.Seidman, untuk melihat bekerjanya hukum dapat dilihat dari tiga unsur penting yaitu pembentuk hukum, pelaksanaan peraturan atau birokrat, dan yang dikenai hukum. Sehingga dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja anak tidak cukup mengandalkan peraturan perundang-undangan yanga ada, kecuali pada masyarakat yang tingkat kesadaran hukumnya tinggi. Namun, berbeda halnya dengan masyarakat yang pada umunya tinggal di negara-negara berkembang yang mana tatanan sosialnya tidak teratur, tingka sosioekonominya tidak merata, dan tingkat pendidikan rata-rata rendah berdampak terhadap kesadaran hukumnya.
Sehingga pemerintah perlu mengefektifkan fungsi pengawasan pentaatan peraturan peundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Dalam hal ini, Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) yang tugasnya memang mengurus masalah ketenagakerjaan, sehingga dengan memaksimalkan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) diharapkan setiap adanya dugaan pelanggaran peraturan perundangan ketenagakerjaan bisa dicegah sedini mungkin.
Dengan diwajibkannya pembuatan laporan secara berkala setiap satu bulan diharapkan dapat memperoleh data di perusahaan yang bersangkutan mengenai kondisi ketenagakerjaan, sehingga dari laporan tersebut apabila ditemukan ketidaksesuaian antara penerapan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam undang-undang, maka dalam hal ini pemerintah melalui Dinas Tenaga Kerja dalam melakukan  langkah-langkah yang nyata terkait dengan pelanggaran peraturan ketenagakerjaan oleh perusahaan yang bersangkutan, sehingga semua bentuk pelanggaran dapat dicegah.
Pengembangan Kelembagaan
Seperti yang kita ketahui begitu banyak peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak, seperti Undang-Undang  Nomor  39  Tahun  l999  tentang  Hak  Asasi,  Undang-Undang Nomor  23  Tahun  2002  tentang  Perlindungan  Anak,  dan  juga  kelembagaan-kelembagaan  yang  medukung  upaya  perlindungan  anak,  seperti  Komisi Nasionas  Anak  (Komnas  Anak),  Komisi  Perlindungan  Perempuan  Dan  Anak (KPPA),  serta  sejumlah  lembaga  swadaya  masyarakat. Implementasi dari  Keppres  Nomor  59  Tahun  2002  mengenai  Perencanaan  Aksi  Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (PBPTA).
Lembaga-lembaga tersebut harus di dorong secara aktif untuk melakukan sosialisasi khususnya mengenai perlindungan hak-hak anak. Dan diharapkan dapat menghapus atau mengurangi jumlah pekerja anak, paling tidak meskipun anak tersebut harus bekerja tapi tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peningkatan Pengetahuan  Ketenagakerjaan
Pemahaman masyarakat terhadap pengetahuan ketenagakerjaan dapat dikatakan sangat rendah, bahkan dapat dikatakan hampir tidak ada, hanya kelompok masyarakat menengah ke atas saja yang memahami tentang pengaturan masalah ketenagakerjaan. Hal ini disebabkan karena rendahnya kesadaran masyarakat untuk ingin tahu tentang masalah ketenagakerjaan.
Berbagai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang dibentuk dan diberlakukan oleh pemerintah untuk perlindungan hukum terhadap hak pekerja, oleh karena itu masyarakat seharusnya memahami pengaturan ketenagakerjaan tersebut. Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat bisa dilakukan dengan menggunakan dialog interaktif di media massa, baik media cetak atau elektronik. Dan juga bisa dilakukan dengan melakukan penyluhan, seminar, dan lainnya.
Pembinaan
Pembinaan terhadap pengusaha dalam kaitannya dengan masalah ketenagakerjaan sangat penting untuk dilakukan. Pengusaha diharapkan mampu memahami peraturan perusahaan dan masalah ketenagakerjaan, sehingga pengusaha dapat memahami karakteristik pengaturan pekerja anak, seperti ketentuan larangan memperkerjakan anak, sehingga dalam hal ini pengusaha dapat mencegah pekerja anak, dan jika terpaksa memperkerjakan anak pengusaha dapat mencegah adanya bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 74  ndang-Undang  Nomor 13  Tahun  2003  tentang  Ketenagakerjaan,  serta  peratuan  perundang-undangan lainnya, yang berhubungan dengan perlindungan anak atau pekerja anak.
Kesimpulan dan Saran
Walaupun pekerja anak tampaknya sulit dihindarkan, meskipun secara normatif keberadaan pekerja anak tidak sesuai dengan dengan peraturan  perundang-undangan  Ketenagakerjaan,  khususnya  UndangUndang  Nomor  13  Tahun  2003. Namun, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk  mencegah  pekerja anak diantaranya mengefektifkan  peraturan perundang-undangan, melakukan pengawasan  terhadap  pentaatan  perturan perundang-undangan, peningkatan  pengetahuan tentang ketenagakerjaan, pengembangan kelembagaan,  dengan  memfungsikan  secara  aktif  kelembagaan  yang berkaitan  dengan  anak, dan  pembinaan  kususnya  dilakukan  terhadap  para pengusaha guna mencegah mempekerjakan anak.
Penulis menyarankan agar pemerintah benar-benar melakukan pengawasan mengenai kondisi ketenagakerjaan dimasing-masing perusahaan dengan mewajibkan pembuatan laporan secara berkala, dan pemerintah melakukan pembinaan dan penyuluhan kepada pengusaha dan masyarakat terhadap pentingnya masalah ketenagakerjaan, dan perlindungan hukum ketenagakerjaan.
Sumber :
Badan Pusat Statistik, 2022
Desty Ade R, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan, dalam http://repository.um-palembang.ac.id
Nandi, Pekerja Anak dan Permasalahannya, dalam https://ejournal.upi.edu/
Wafda Vivid I, Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Anak di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum 3(2):104
Sucita Adianingsih, Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Al Wafa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H