"Berdasarkan analisis yang ada ternyata hasutan dari media sosial mempercepat eskalasi konflik. Banyak konflik selalu diahului adanya hasutan medsos," tutur Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus) Polda Metro Jaya AKBP Hengky Haryadi (metropolitan.inilah.com) beberapa waktu yang lalu.
Statement Hengky Haryadi tentunya berdasarkan kejadian-kejadian yang akhir ini banyak bermunculan. Salah satunya kasus bentrok warga di Tanjung Balai Sumatera Utara di penghujung bulan Juli 2016 lalu. Melalui media sosail (medsos) agresivitas sekelompok orang tertentu mudah dibangkitkan yang berakhir dengan bentrok antar warga.
Memprihatinkan sekaligus menyedihkan saat medsos menjadi media penyebaran kebencian dan provokasi yang mengarah pada isu sara.
Media Sosial, di rindu tetapi juga di benci
Saat ini media sosial di butuhkan, dirindukan tetapi juga sebenarnya dikhawatirkan. Benci tapi rindu, mungkin itu ungkapan yang pas untuk kehadiran medis sosial. Masyarakat merindukan kehadiran dan membutuhkan media sosial untuk kemudahan berkomunikasi, berbisnis, bekerja, maupun bersosialisasi. Tetapi di satu sisi juga ‘membenci’ media sosial karena jika tidak bijak  dalam mengunakan media sosial bisa berakibat fatal.
Sudah ada beberapa kasus yang disidangkan karena perkara komentar, status di media sosial yang mengandung unsur kebencian, mencemarkan nama baik dan berpotensi menimbulkan perpecahan.
Di jaman serba digital ini, kemajuan tehnologi tidak bisa dibendung lagi. Berbagai informasi di seluruh tanah air dan belahan dunia dalam waktu cepat bisa langsung diakses oleh jutaan manusia. Sungguh luar biasa, dalam hitungan detik orang-orang bisa langsung mengetahui kejadian di seluruh dunia.
Oleh karena itu media sosial bisa memberikan dampak positif dan negatif, ada sisi baik dan buruknya. Tergantung bagaimana mengelola, memanfaatkan dan mengunakannya.
Media Sosial Guna Menjalin Kerukunan Antar Umat Beragama, Bukan Untuk Memecah Kerukunan
Indonesia terdiri dari beragam suku, ras, agama, warna kulit, bahasa, budaya, adat istiadat dan kearifan lokal lainnya. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu juga. Keberagaman ini sudah ada sejak nenek moyang, sejak bangsa ini belum resmi berdiri. Keberagaman mestinya menjadi modal sosial bagi bangsa ini untuk menjadi bangsa besar dan mampu membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi warganya.Perbedaan tersebut bisa menjadi cikal bakal kerukunan antar umat beragama, antar suku, budaya yang berbeda.
Sebagai contoh yang terjadi di Kota Solo, masyarakat menjunjung tinggi perbedaan yang ada, dengan tidak memandang perbedaan menjadi perpecahan. Kota Solo yang terkenal dengan sebutan kota dengan sumbu pendek (mudah terjadi gesekan dengan persoalan apapun), nyatanya masih mampu menciptakan toleransi antar umat beragama. Salah satu contohnya, adanya kerukunan antar umat beragama yang sudah terjadi puluhan tahun yang lalu di kecamatan Serengan. Tepatnya di Joyodingratan, Serengan, ada bangunan masjid dan gereja yang bersebelahan. Masjid Al Hikmah dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodingratan berdiri sejak puluhan tahun silam.Â
Bangunan gereja berdiri sejak tahun 1937 sementara bangunan masjid sepuluh tahun kemudian.Keduanya hanya dipisahkan oleh tembok bata saja dan mempunyai alamat yang sama. Meskipun bersisian,tetapitidak ada gesekan sama sekali. Bahkan saat pelaksanaan Idul Fitri  jatuh pada hari Minggu, pihak pengurus gereja akan memundurkan jadwal kebaktian pagi menjadi siang sehingga tidak menganggu jadwal ibadah umat islam. Toleransi yang dibangun sejak dulu sampai sekarang masih terpelihara dengan baik. Halaman masjid diijinkan untuk tempat parkir saat kebaktian minggu pagi, ibadah natal dan paskah.
Itulah contoh kecil kerukunan antar umat beragama yang sudah terjalin sejak lama. Di era kemudahan media sosial seperti saat inipun, kerukunan antar umat beragama tersebut  juga masih terjaga dengan baik. Bahkan media sosial dijadikan sarana untuk saling memberikan informasi kegiatan keagamaan tersebut.
Sayangnya, perbedaan yang ada masih tercemar oleh ulah orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang memanfaatkan media sosial untuk hal-hal yang  menimbulkan fitnah, konflik dan perpecahan.
Hal tersebut tidak bisa di biarkan terus menerus karena  berakibat tidak baik bagi  kerukunan, kedamaian, persatuan dan kesatuan warga Negara Indonesia. Tugas menjaga kerukunan antar umat beragama tidak hanya tugas pemerintah semata tetapi juga menjadi kewajiban bagi warga untuk menjaga kerukunan dan kedamaian.
Pertama, bijak dalam bermedia sosial.
Mungkin ini kalimat usang, tetapi  menurut saya tetap harus diingatkan terus menerus kepada semua warga Negara Indonesia.  Pepatah bijak , ‘Mulutmu Harimaumu’ relevan dengan ‘Tulisanmu Harimaumu’. Apa yang kita sampaikan/tuliskan bisa jadi akan membuat kita menuai celaka, jika tidak bijak dan hati-hati. Janganlah meremehkan sebuah ucapan ataupun tulisan karena suatu saat bisa jadi akan membawa malapetaka bagi kita.
Bijaklah dalam mengunakan media sosial. Pergunakan media sosial untuk melakukan hal positif baik dalam berkomunikasi, bersosialisasi, bekerja maupun berbisnis. Penting untuk menahan diri mengeluarkan statement yang berpotensi memicu konflik apalagi yang menjurus ke sara. Jangan sekali-sekali men-share informasi yang kita sendiri belum yakin kebenarannya.
Kedua, jeli dalam memilih, memilah, membaca dan mengikuti website. Banyaknya website mendorong kita untuk hati-hati dalam  memilih, memilah dan  membacanya. Website dengan tema-tema agama yang fanatik, cenderung menyatakan agama yang dianut paling benar, menyalahkan kenyakinan orang lain, dll sangat membahayakan karena ujung-ujungnya hanya berisi hasutan, fitnah dan menebar permusuhan. Hindari mengakses website yang berisi ajaran yang menebarkan  kebencian tersebut
Ketiga, perbanyak memposting pengalaman kerukunan beragama di lingkungan sekitar. Meskipun sepele tetapi pengalaman-pengalaman kecil di sekitar kita bisa bermanfaat dan memberikan inspirasi bagi orang lain. Misalnya kerjasama antar tetangga yang berbeda agama  dalam menyelenggarakan acara halal bihalal, saling mengucapkan hari raya antar umat beragama.
Keempat, pihak pemerintah terus memaksimalkan peran  satgas gabungan yang  melakukan monitoring dan patroli cyber terhadap akun-akun di media sosial. Meskipun bukan langkah  mudah, tetapi patroli cyber harus terus dilakukan. Proses hukum terhadap pemilik akun yang menyebarkan kebencian dan hasutan untuk bermusuhan bisa menimbulkan efek jera (deterence effect). Sehingga diharapkan orang akan lebih berhati-hati dalam mengunakan media sosial.
Kelima, para pemuka agama hendaknya tidak melakukan tindakan yang menimbulkan kontroversi di masyarakat. Sebagai pemuka agama, ucapan, sikap, tindakan seringkali menjadi panutan bagi umatnya. Oleh karena itu hendaknya para pemuka agama bisa menjaga sikap, ucapan, tindakan sehingga tidak menimbulkan keresahan dan memicu masalah.**
_Solo, 14 September 2016_
https://www.facebook.com/suci.handayani.568
https://twitter.com/sucihansolo /@sucihansolo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H