Menu yang dibawa untuk kenduren biasanya nasi gurih (nasi yang dimasak dengan santan kental) yang ditaburi kacang kedelai goreng, dengan lauk ayam, tempe, sayur Lombok ijo (jangan Lombok ijo), perkedel, kering tempe, mie goreng, telur rebus, dilengkapi dengan rempeyek kedelai. Tak lupa ada makanan kecil yang menjadi makanan khas kami yaitu apem(kue dari campuran tepung beras, santan yang dimasak dengan di sangan).
Semua makanan di letakkan di atas tampah kecil, atau di tenongan (tempat nasi terbuat dari bambu) nasinya di buat kerucut atau tumpeng kemudian diatas nasi di tancapi cabe dan bawang putih yang ditusuk sodho atau ditusuk lidi
Setiap rumah akan membawa satu buah nasi kenduren lengkap dengan lauk-pauknya. Kemudian semua makanan tersebut akan diletakkan di tengah-tengah warga yang duduk bersila.
Selepas pak Kyai atau mbah Modin mengucapkan doa yang diamini oleh warga, kami semau langsung menyerbu makanan yang tersedia. Biasanya kami tidak mengambil makanan yang dibawa sendiri, tetapi memilih mengambil makanan yang di bawa tetangga.
Dan begitulah, semua yang hadir makan bersama menikmati berkah yang ada sambil tak luap mensyukuri karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Dudgeran sendiri ada yang melaksanakan tetapi ada juga yang tidak. Dugderan sendiri seperti pasar malam, jadi ada pedagang yang menjual beberap jenis barang dagangan yang dibutuhkan warga.
Kalau di desa kami dulu (Klaten) jarang ada dugderan menjelan puasa, biasanya malah sesudah puasa atau saat harai raya Idul fitri selama beberapa hari. Kalau di Semarang, tradisi Dugderan dilakukan seminggu sebelum ibadah puasa dimulai.
Tradisi tersebut, menurut kabar, sudah dilakyukan sejak tahun 1881, sangat lama, Dan sampai sekarang sebagian tempat masih melakukan tradisi tersebut.
Biasanya diujung hari terakhir dugderan masjid agung akan menambuh bedug dengan kencang ‘du..dug…dug..” sebagai tanda bulan puasa telah tiba.
Kalau tradisi yang satu ini memang jarang dilewatkan .Rasanya tidak ada yang menolak untuk ikut padusan menjelang bulan puasa. Padusan dalam bahasa jawa berarti adus atau mandi.
Sebenarnya makna dibalik padusan tersebut untuk membersihkan diri sebelum menjalankan ibadah puasa. Membersihakn diri dari hal-hal, perbuatan yang tidak baik sehingga saat menjalai puasa dalam jiwa yang suci, bersih dan murni.