[caption caption="sumber foto : kompas.com"][/caption]
Polemik RS Sumber Waras hampir dipastikan saat ini semakin jelas dan terang benderang setelah Direktur Utama Rumah Sakit Sumber Waras, Abraham Tedjanegara menjelaskan beberapa hal yang selama ini memicu kecurigaan BPK.
Abraham dengan jelas memaparkan beberapa fakta yang membuat kasus RS Sumber Waras terkesan ruwet dan menimbulkan kebimbangan
Diakui atau tidak, pendapat publik sempat terbelah, terutama orang-orang yang simpati kepada Ahok dan bersiap memberikan dukungan pada Pilgub 2017 mendatang. Diakui atau tidak sebagian public sempat ikut bertanya-tanya, sedikit ragu-ragu karena BPK telah  gencar mengeluarkan statement atas hasil pemeriksaaan RS Sumber Waras  sehingga menimbulkan membuat opini baru yang cederung memojokan Ahok.
Sementara bagi public yang selama ini tidak mendukung Ahok, seperti mempunyai amunisi baru untuk semakin gencar menyerang sang gubernur dan muaranya terganjal untuk maju menjadi DKI 1.
Terhadap beberapa hal yang membuat BPK curiga, Abraham telah memberikan jawaban yang telak dan sangat masuk akal.
Pertama, tentang  waktu transaksi jual beli yang  dicurigai KPK. BPK menilai waktu terjadinya transaksi itu tidak wajar, yakni yakni pada 31 Desember 2014, lewat pukul 19.00, atau lewat jam kerja.
 Abraham mengatakan bahwa tidak ada kesepakatan antara RS Sumber Waras dan Pemprov DKI dalam menentukan batas waktu pembayaran sebagian lahan Sumber Waras. Pada tanggal 7 Desember 2015, sudah ada Kesepakatan dan pengikatan kontrak antara RS Sumber Waras dengan Pemprov DKI. Kalau biasanya dalam transaksi jual beli  pembayaran seharusnya langsung dilakukan di depan notaris, tetapi karena transaksi dengan instansi bisa berbeda. Saat itu Pemprov DKI tidak bisa langsung melakukan pembayaran karena terkendala proses administrasi.
Kedua, tentang kecurigaan karena transaksi  pembelian lahan dilakukan secara tunai .
Menurut Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK Yudi Ramdan , awal kecurigaan pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras berawal dari transaksi tak lazim yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Ketua BPK RI Harry Azhar mengamini dengan menyebutkan  transaksi pembelian sebagian lahan itu menggunakan cek tunai sebesar Rp 755,69 miliar. Anggarannya diambil dari uang persediaan (UP). Sistem pembayaran melalui cek tunai ini, kata dia, sama seperti pembayaran uang tunai. Caranya dengan mencairkan cek tersebut di bank dan kemudian ditransfer ke rekening pihak ketiga, dalam hal ini Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW).
Jawaban Abraham, mematahkan kecurigaan BPK. Abraham mengatakan bahwa ia tidak menerima pembayaran tersebut secara tunai. "Uang Rp 755 miliar dan malam tahun baru? Kalau misalnya saya terima, saya pikir saya harus bawa kontainer," kata Abraham.