“Paling lambat hari Minggu, gudang ini sudah harus di kosongkan.Mereka akan datang hari Senin membawa tukang dan memperbaiki gudang ini.” Jawab pak RT. Setelah diam sejenak, pak RT permisi pulang. Tak ada pembicaraan lagi, tak ada kompromi.
Kenapa pak RT tidak berusaha maximal untuk minta ijin pengunaan gudang ini? Bukankah pak RT mestinya mengayomi warga dan mestinya mengajak bicara warga terutama yang dulu bergotong royong membersihkan gudang ini. Bukankah warga dan anak-anak harus tahu semua ini? Batinku kesal.
Kupandangi lagi anak-anak dari depan pintu, ke mana lagi anak-anak akan mendapatkan tempat untuk belajar? Saat pemerintah yang seharusnya berkewajiban memberikan kesejahteraan dan pendidikan yang layak bagi warganya alpa, kemana mereka harus mengadu?
“Mbak Sekar kenapa menangis?” Tak kusadari Siti sudah di dekatku sambil memeluk pinggangku dengan rasa sayang.
Ku hapus air mataku, ku coba tersenyum.
“Nggak apa-apa, mata mbak hanya kemasukan debu saja,” jawabku berdusta.
“Ooo, kirain kenapa, mbak. “
“Mbak, gambarku sudah jadi, nich,” kata Agus sambil berlari dan memamerkan gambarnya.
“Wow, bagus sekali. Kamu memang pintar dan berbakat, Gus,” kataku tulus.
“Hehehehe….” Jawab Agus pendek. Kemudian berlari dan kembali menekuni gambarnya.
“Mbak, tolong bantu Kiki, yach,” seru Kiki sambil melambaikan kertas gambarnya.
Aku tersenyum dan menghampiri Kiki . Tak lama kemudian anak-anak sudah terbuai dengan cita-cita meraka yang dituangkan dalam selembar kertas bekas ini. Aku tak kuasa untuk menatap wajah polos mereka. Begitu banyak harapan yang mereka impikan. Bagaimana aku harus menyampaikan berita buruk ini? Aku harus menemui warga, setelah itu terserah bagaimana warga akan mempertahankan tempat ini, tekadku. Yang jelas aku akan membantu Agus dan teman-temannya untuk mengembangkan impian mereka, bahkan mungkin untuk meraih cita-cita mereka, meskipun tak ada lagi markas kecil ini. *** TAMAT