SUCI FITRIA
JURUSAN ILMU POLITIK, FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK, UNIVERSITAS ANDALAS
Email: sucifitria915@gmail.com
Pengaturan yang membahas tentang kewenangan pengelolaan sumber daya alam dalam hal perizinan usaha tambang mineral dan batubara telah dimuat dalam Undang-Undang Minerba tahun 2009 yang dinamakan dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Catatan sejarah pengaturan dalam pengelolaan pertambangan di bumi Indonesia telah melalui perjalanan panjang, yang diawali pada masa pra kemerdekaan atau pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Selanjutnya pada masa pemerintahan setelah kemerdekaan Republik Indonesia, baru sampai pada saat sekarang ini.Â
Pengaturan pengelolaan pertambangan pertama dimuat dalam peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang yang kemudia diganti menjadi Undang-undang No. 37 Prp Tahun 1960 yang dikenal dengan Undang-undang pertambangan 1960. Dalam Undang-undang pertambangan 1960 ini menawarkan investasi asing dengan pola Production Sharing Contract, yang mana jika hal tersebut tidak mencapai tujuan untuk menarik minat swasta ataupun mendatangkan modal dari luar negeri sebagaimana yang diharapkan.Â
Seiring dengan perkembangan waktu, maka Undang-undang pertambangan diganti menjadi Undang-undang No.11 Tahun 1967 tentang pokok pertambangan. Jika dilihat dari kedua sisi Undang-undang ini dapat disimpulkan bahwa pengelolaan pertambangan di Indonesia berada pada pemerintah pusat.
Perubahan kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia  ini mulai beralih pada kewenangan pemerintah kabupaten/kota dimulai pada saat Negara Kesatuan Republik Indonesia mengubah politik hukum terhadap hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah dari asas dekosentrasi yang bersifat sentralistik menjadi desentralistik yaitu oenyerahan kekuasaan yang seluas-luasnya kepada pemerintah Kabupaten/Kota dengan otonomi yang seluas-luasnya.Â
Perubahan ini dilandasi oleh adanya amandemen UUD 1945 yang ke dua khususnya pasal 18 A dan pasal 18 B. Dan sebagai dasar pelaksanaan kewenangan daerah dengan adanya otonomi yang seluas-luasnya terkhusus mengenai pengelolaan pertambangan, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah (UU PEMDA). Kemudian dengan dikeluarkannya Undang-undang Pemda ini, maka kewenangan pengelolaan pertambangan diamanatkan menjadi kewenangan daerah otonom khusunya Kabupaten dan Kota yang memiliki otonomi daerah yang utuh.
Setelah hadirnya Undang-undang Pemda Tahun 1999 dan diiringi oleh dikeluarkannya pengaturan melalui PP 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Daerah Provinsi menjadikan penguasaan pertambangan menjadi lebih jelas dan nyata kearah desentralisasi.Â
Dengan hadirnya desentralisasi ini, menjadikan pertambangan menjadi lepas kontrol, karena pemerintah daerah yang dengan mudah mengeluarkan izin pertambangan tanpa syarat yang memadai dan bahan tambanga tersebut langsung dieksporbegitu saja. Kemudian pada tahun 2009 dikeluarkan kembali Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 mengenai Pertambangan Mineral dan Batubara yang kemudian secara tiba-tiba muncul lagi peraturan terabru yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah untuk menggantikan UU Pemda Tahun 1999 dan UU Pemda Tahun 2004.Â
Dimana dalam peraturan terbaru ini menyatakan bahwa penyelenggaraan urusan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Sehingga dapat ditari kesimpulan bahwa dalam UU terbaru ini dipastikan bahwa pemerintah Kabupaten/Kota tidak lagi diberi kewenangan, karena segala urusan kewenangan pertambangan sudah ditarik kembali menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi.
Dengan kembalinya kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi menimbulkan dilema yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Semenjak adanya peraturan pengelolaan pertambangan di Indonesia dan sampai pada saat sekarang ini menimbulkan dampak dan akibat disetiap perubahannya.Â
Dimana jika kewenangan pengelolaan pertambangan berada di tangan pemerintah pusat dan provinsi, sering dijumpai kasus pertambangan tanpa izin yang tersebar di beberapa daerah penghasil tambang di Indonesia. Hal ini dikarenakan kurangnya pengawasan langsung yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan provinsi yang diakibaykan banyaknya pembiayaan dan waktu yang dikeluarkan juga relatif banyak.Â
Sehingga pertambangan tanpa izin banyak muncul di beberapa wilayah Indinesia. Hal ini menyebabkan kerusakan lingkungan semakin parah karena dengan adanya pertambangan tanpa izin ini akan menimbulkan kerusakan lingkungn di sekotar daerah bekas tambang tersbut, karena pertmabngan yang dilakukan tidak disertai dengan reklamasi usai pertambangan.
Dan jika di lihat dari setelah adanya kewenangan yang diberikan kepada pemerintah Kabupaten atau Kota, juga terjadi kerusakan lingkungan. Karena pada pengelolaan di pemerintah Kabupaten/Kota diberikan izin pertambangan tanpa syarat secara bebas dan tidak terkontrol, sehingga menyebabkan masyarakat dan pihak swasta berbondong-bondong membuka lahan pertambangan di berbagai titik di Indonesia.Â
Setelah adanya pertambangan secara besar-besaran ini pun juga akan timbul kerusakan lingkungan. Dimana seharusnya lahan yang dilindungi dijadikan sebagai lahan pertambangan dan juga hasil bahan tambang tersbut langsung diekspor tanpa adanya konfirmasi kepada pemerintah pusat.
Setelah membaca uraian diatas dapat disimpulkan bahwa adanya tarik menarik kekuasaan pusat dan daerah dalam urusan pengelolaan pertambangan di Indonesia yang disebabkan dengan adanya dekosentrasi menimbulkan isu kerusakan lingkungan. Hal ini terjadi karena masing-masing pihak tidak dapat melaksanakan dan mengakkan peraturan yang tegas dalam penyelenggaraan kewenangannya.Â
Sehingga dampak dari kerusakan lingkungan akibat pertambangan masih dirasakan sampai saat sekarang ini, seperti adanya banjir di daerah sekitar bekas tambang, kegundulan hutan, bahkan sering terjadi longsor yang menelan banyak korban jiwa akibat adanya pertambangan ilegal yang tidak memenuhi persyaratan pertambangan.
Sumber Referensi:
Nurdin, Adamy, 2021, Pengaruh Hubungan Kekuasaan Antara Pusat Dan Daerah Terhadap Kewenangan Perizinan Pertambangan Mineral Dan Batubara, Jurnal Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Vol1, No. 2 Halaman 553-570.
Undang-undang No. 37 Prp Tahun 1960
PP 25 Tahun 2000
Undang-Undang Minerba tahun 2009
Undang-undang No.11 Tahun 1967
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H