Seperti halnya di India, Yaman, Thailand, dan negara berkembang lainnya. Bahkan corak musik Indonesia kian identik dengan band internasional. ''Tape recorder memungkinkan siapa saja mudah mengakses musik yang tengah beredar di kancah global, termasuk genre rock,'' tulis Wallach lagi.Pada zaman Orde Baru memang tak jauh beda dengan era Sukarno. Di bawah Orde Baru, musisi atau terlebih yang populer, terus dihadapi ancaman hukuman atau sensor oleh pemerintah.Tapi, hal ini tidak menghalangi sebagian dari mereka, termasuk Rhoma Irama, Harry Roesli, Iwan Fals, Slank, dan Dewa 19, untuk membawakan lagu-lagu yang dipandang sebagai kritik terhadap rezim Soeharto.Tapi dibanding pendahulunya, Soeharto masih dianggap lebih memberi ruang kreatif kepada musisi yang bentuk musiknya ke barat. Menjelang akhir 90-an, muncul juga kanal MTV yang menyajikan musik global dan turut memengaruhi band-band indie Indonesia.
Masa musik digital
Masa setelah reformasi, teknologi memungkinkan setiap orang mencari referensi musik dari berbagai sumber, termasuk tren masa lalu. Geliat perusahaan rekaman musik Indonesia mulai bangkit dan membuka bisnisnya kembali. Meskipun harganya meroket akibat krisis moneter yang sedang berlangsung kala itu.Masalah utama yang terjadi pada era digital adalah pembajakan. Wallach mencatat, di Indonesia pasca Era Reformasi, rasio kaset musik original yang dijual ketimbang kaset bajakan adalah sekitar 1:8. Angka ini lebih besar dibanding pada awal 1990-an atau sebelum krisisi moneter melanda, yang rasionya 1:6.Karena itulah label rekaman dan konsumen juga mulai mengadopsi layanan siaran langsung atau streaming untuk merekam dan menikmati musik. Layanan ini bahkan berkontribusi hampir setengah dari total pendapatan industri musik global.
Melansir Katadata, berdasarkan data International Federation of the Phonographic Industry (IFPI) dan WEF, layanan streaming musik mampu meraup 8,9 miliar dolar AS yang setara Rp125,5 triliun, dan berkontribusi 47 persen terhadap total pendapatan industri secara global.Kontribusi tersebut bahkan meningkat pesat dari 2013 yang hanya 9 persen dengan nilai 1,4 miliar dolar AS atau setara Rp19,7 triliun.Sementara Indonesia, berada di posisi ketujuh pasar musik digital terbesar di Asia dengan potensi pendapatan mencapai 21 juta dolar AS pada 2015.Pada 2016, McKinsey & Company menyebut Indonesia sebagai bagian empat negara paling potensial untuk industri musik digital selain Thailand, Hong Kong, dan Malaysia.Tentunya dengan besarnya keuntungan dari industri musik haruslah bisa berdampak kepada pelakunya. Terbitnya royalti kepada musisi bisa menjadi lampu terang bagi pelaku industri musik agar lebih sejahtera pada masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H