Di antara ualama kontemporer ini adalah Qasim Amin. Qasim Amin menyatakan tidak ada ketetapan agama yang mewajibkan pakaian khusus (jilbab dan hijab). Pakaian tersebut bukanlah produk agama melainkan produk budaya karena sudah ada sejak Islam datang. Ditambah al-Qur'an tidak tegas menyebutkan batasan aurat perempuan dalam ayatnya.
Selain Qasim Amin, Mahmud Syahrur juga mengemukaan pendapat bahwa hijab bukanlah kewajiban agama melainkan satu bentuk pakaian yang dituntut oleh kehidupan bermasyarakat dan lingkungan serta dapat berubah dengan perubahan masyarakat. Walaupun pendapat ini disanggah bahwa tuntutan agama menyangkut pakaian sebagaimana terbaca dalam al-Qur'an dan Sunnah telah menerima adat kebiasaan itu sebagai sesuatu yang baik.
Berdasarkan penafsirannya terhadap ayat . Pembahasan fokus pada lafadz Juyuub . Beliau mengatakan bagian yang ditutup oleh khimar hanyalah antara kedua payudara, apa yang di bawah payudara, yang di bawah perut, kemaluan, dan sisi pantat.
Dari semua pemaparan di atas, Abi Quraish memaparkan prinsip-prinsip yang dijadikan dasar dalam pengambilan hukum. Prinsip-prinsip ini berupa: Al-Qur'an dan Sunnah tidak menghendaki masyaqqoh, hadis dapat menjadi landasan hukum jika hadis itu dinilai sohih oleh yang bersangkutan, ketetapan hukum berdasarkan pada illatnya, adat mempunyai pernanan besar dalam menetapkan hukum, dsb.
Berdasarkan adat kebiasaan inilah beberapa ulama menjadikan kebiasaan sebagai tolak ukur penetapan aurat. Boleh terbukanya beberapa bagian tubuh asalkan tidak  menimbulkan rangsangan bagi yang melihat.Â
Dalam memhami illat-pun begitu. Al-asymawi mengatakan perintah menggunakan jilbab yang pada surat An-Nur ayat 31 disebabkan karena dahulu buah dada para wanita terbuka maka. Sehingga tujuan turunnya ayat ini adalah sebagai perintah menutup dada yang terbuka. Selain itu, ayat ini turun guna menjadi pembeda antara wanita merdeka dan budak karena dahulu ketika wanita merdeka keluar rumah mereka membuka wajah mereka sehingga mendapat gangguan dari lelaki.
Di akhir bukunya, Abi Quraish menutup dengan beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh wanita agar pakaian yang ia pakai sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini mencakup larangan bertabarruj, mengundang perhatian pria, memakai pakaian transparan, memakai pakaian seperti laki-laki, dsb.
Kesimpulan penulis resensi ini adalah bahwa Abi Quraish tidak menafsirkan muslimah tidaklah berkewajiban memakai jilbab. Bahkan, di permulaan buku yang setebal 248 ini, kiranya sudah menepis bahwa beliau bukanlah orang yang tidak mewajibkan jilbab. Sebab, beliau memaparkan sejak awal bahwa beliau tidak mengatakan ketidakharusan berjilbab. Melainkan, beliau hanya mengemukakan aneka pendapat pakar tentang persoalan jilbab tanpa menetapkan satu pilihan. Ditambah, beliau berharap, bagi perempuan yang sudah menyandangkan jilbab di kepalanya tidak serta merta untuk melepas jilbabnya sekalipun ada ulama yang melonggarkan hal tersebut.
NB. Tulisan ini sebagai catatan dari si penulis resensi agar isi dari buku yang ia baca dapat terdokumentasikan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H