Kantong pekerja migran merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Paradoksnya, wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) yang kaya akan hasil pertanian, justru penduduknya mencari kesejahteraan di perkebunan di negara seberang. Parahnya lagi, keahlian yang diperoleh selama bekerja tidak bisa dimanfaatkan di kampung halaman.Â
Sorotan masalah ini disampaikan Ateng Hartono, Deputi Bidang Statistik Sosial, Badan Pusat Statistik (BPS), pada Focus Group Discussion (FGD) Satu Data Migrasi Internasional (SDMI) di Lombok Timur (13/10/2023) perlu disampaikan ke publik supaya kemiskinan dapat terurai dari kantong migran.Â
Kondisi Kantong Migran
Melihat wilayah kantong migran, publik perlu tahu bahwa pilihan menjadi PMI tak merubah wajah kesejahteraan. Sejauh ini, angka kemiskinan makro  BPS yang tidak banyak berubah di wilayah kantong PMI. Sebagai gambaran, kemiskinan di Lombok Timur Maret 2022 mencatatkan jumlah penduduk miskin ranking 22 nasional. BPS mencatat kemiskinan di Lombok Timur mencapai 15,14% atau 189,64 ribu jiwa. Â
Sementara itu, rendahnya tingkat pengangguran Lombok Timur karena kurangnya kesempatan kerja. Data BPS menunjukkan pada Agustus 2022, tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 1,51% yang didominasi oleh usia produktif antara 15 hingga 29 tahun dengan pendidikan SMA.Â
Pada FGD yang dihadiri oleh Pemerintah Desa, Pemerintah Daerah, BRIN, BP2MI, dan lembaga terkait lain, terungkap bahwa pilihan menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dibatasi waktu oleh target pemenuhan kebutuhan hidup masing-masing PMI. Kebutuhan hidup warganya sulit diperoleh dari tempat asal, karena terbatasnya peluang kerja.Â
Kayanya Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan hasil pertanian, bukan cerminan kesejahteraan penduduknya. Sebagai penghasil komoditas tembakau, dan jagung, komoditas ini ternyata menjadi sumber bahan baku industri di Jawa, terutama untuk industri rokok dan pakan ternak. Parahnya, warganya menjadi PMI di perkebunan negara orang, terutama penduduk yang tinggal di Desa Anjani, NTB.
Informasi PMI dari Desa Anjani
Selama ini, PMI kurang terwakili dalam pasar tenaga kerja lokal. Sebagai gambaran awal pada tahun 2021, desa Anjani terdapat 509 warga yang menjadi PMI, 82% laki-laki, 76% bekerja di sektor perkebunan, 6 dari 10 PMI bekerja di Malaysia, terutama di kebun sawit.Â
Pendapatan yang diperoleh saat menjadi pekerja di perkebunan juga tidak cukup mensejahterakan, karena selisih Upah minimum kabupaten (UMK) daerah asal dengan pendapatan saat menjadi PMI juga tidak signifikan.Â
Upah minimum kabupaten (UMK) di kabupaten tahun 2023 ini sebesar Rp 2.372.532, sementara saat menjadi PMI di Buruh perkebunan Sawit antara 4 juta hingga 6 juta rupiah. Namun, pilihan menjadi PMI tetap ditempuh, karena peluang kerja yang berkesinambungan cukup terbatas. Apalagi mudahnya menjadi PMI dengan modal yang terbatas.
Modal keberangkatan PMI bisa dilakukan dengan pemotongan gaji oleh Agen. Biasanya, pemotongan modal pemberangkatan dilakukan selama tiga sampai lima bulan, tergantung ongkos pemberangkatan ke negara tujuan.Â
Ada dua alasan warga menjadi PMI, yakni memenuhi kebutuhan hidup dan akumulasi aset. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, sebagian PMI merupakan tulang punggung keluarga, memenuhi konsumsi, pendidikan keluarga, hingga pernikahan anak. Sehingga, sepulangnya PMI ke desa, uang yang dikirimkan ke desa sudah habis untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sayangnya, meski PMI sudah tiga tahun bekerja dan kembali ke Desa, mereka akan berupaya kembali menjadi PMI, karena uang yang didapatkan hasil bekerja sudah tak bersisa.
Di sisi lain, ada pula PMI yang berangkat bekerja dalam rangka memenuhi target tertentu, seperti memperbaiki rumah, membeli aset, hingga menyiapkan biaya kuliah. Hal ini searah dengan kondisi Lombok Timur yang didominasi pengangguran usia Produktif dengan lulusan SMA. Setelah dana yang tersimpan mencukupi, PMI biasanya tidak lagi kembali bekerja di luar negeri. Mereka biasanya bekerja di luar negeri sekitar dua sampai empat tahun. Lama waktu kerja ini didasarkan pada izin yang didapatkan untuk bekerja di luar negeri.
Ada beberapa alasan bertahan tidaknya PMI bekerja di luar negeri. Bagi PMI yang bekerja di rumah tangga, biasanya memiliki majikan yang baik. Sementara bagi mereka yang tidak bertahan karena sudah mencapai target yang diperlukan, juga karena sakit. Seperti bekerja di perkebunan sawit memerlukan kondisi fisik yang prima.
Sayangnya, ada banyak PMI tak berizin yang tetap berangkat sejak 2015, Â terutama ke kawasan Timur Tengah. Padahal, moratorium dilaksanakan sejak 2015 melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah. Pengiriman PMI dari Desa Anjani tetap berlangsung setelah 2015, meski moratorium tersebut baru dibuka tahun ini.
Sementara, pemerintah desa juga telah berupaya melindungi PMI. Perwujudannya melalui Desa Peraturan Desa No. 6/2019 tentang Perlindungan dan Pembinaan Pekerja Migran Indonesia. Desa melindungi PMI Â Sebelum Bekerja; Selama Bekerja; Setelah Bekerja; Perlindungan Keluarga Pekerja Migran Indonesia.
Bentuk usaha yang dikembangkan untuk melindungi PMI dengan mengembangkan usaha berbasis komunitas, supaya PMI tidak kembali ke luar negeri. Usaha yang dikembangkan purna PMI adalah kolam renang dan pengelolaan sampah. Usaha yang sudah berkembang dikelola bersama melalui Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), sebagai tambahan pendapatan. Karena, tidak semua purna PMI memiliki tabungan yang cukup untuk wirausaha.
Upaya pemerintah tak cukup pada bersandar remitansi, dengan mengabaikan perluasan kesempatan kerja berkesinambungan. Pemerintah Daerah dapat meningkatkan kesempatan kerja dengan meningkatkan investasi pada industri hilir komoditas pertanian di Nusa Tenggara Barat, seperti industri dengan bahan baku tembakau dan jagung.Â
Sementara itu, Pemerintah Desa dapat membantu PMI dengan mensosialisasikan hak dan kewajiban PMI, memberikan bantuan kepada keluarga yang ditinggalkan, dan memberikan pelatihan kepada eks-PMI agar bisa mandiri. Karena, instrumen fiskal diatur melalui Peraturan Menteri Desa PDTT No. 8/2022, dengan prioritas Dana Desa berdasarkan data masalah dan potensi Desa.
Jika perluasan kesempatan kerja ini tidak diupayakan, tentu akan menjadi paradoks tak berkesudahan. Sumber daya pertanian yang tidak mensejahterakan, sungguh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H