Mohon tunggu...
Udin Suchaini
Udin Suchaini Mohon Tunggu... Penulis - #BelajarDariDesa

Praktisi Statistik Bidang Pembangunan Desa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mitigasi Masalah PMI dari Desa

6 November 2023   22:35 Diperbarui: 6 November 2023   22:54 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai saat ini, kantong migran merupakan wilayah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Parahnya, meski remitansi sangat tinggi namun peningkatan kesejahteraan pekerja migran tidak berkesinambungan. Mengatasi hal ini, pemerintah perlu mengurai masalah Pekerja Migran Indonesia (PMI), mulai dari kerentanan, katalis, hingga upaya pemerintah melakukan mitigasi PMI dari sumbernya: desa.

Perputaran Uang 

Perekrutan calon PMI masih menjadi komoditas yang menggiurkan, karena digulirkannya dana desa tidak cukup mensubtitusi remitansi yang dihasilkan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tahun 2022, total dana desa (DD) dari 2015 sampai 2022  mencapai Rp468,9 triliun yang disalurkan  ke seluruh desa. Sementara, remitansi PMI dari 2015 hingga 2022 mencapai US$ 77.611 juta, atau lebih dari 700 Triliun (kurs Rp. 13.000-Rp.15.000) hanya beputar di desa kantong PMI. Bahkan, saat puncak pandemi sekalipun, lebih dari 100 triliun tetap mengalir ke desa.

Sebagai gambaran yang terjadi pada tiga kabupaten dengan jumlah pekerja migran tertinggi, memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi juga. BPS mencatat, pada tahun 2022, di Lombok Timur, meskipun pengangguran cukup rendah 2,39% dengan upah minimum kabupaten (UMK) Rp 2.372.532, jumlah penduduk miskin sangat banyak yaitu 189,67 ribu orang (15,14%). Sementara di Indramayu, memiliki pengangguran yang tinggi di atas nasional 8,3% dengan UMK Rp2.373.073, juga memiliki jumlah penduduk miskin yang banyak sebesar 225,04 ribu orang (12,77%). Terakhir di Sampang, meski pengangguran rendah 3,45%, dengan UMK Rp 2.114.335, jumlah penduduk miskin sangat banyak sebesar 223.22 ribu (22.13%).

Ini melengkapi teori Everet S. Lee (1976) tentang faktor migrasi. Daerah asal dengan kemiskinan tinggi dan peluang kerja rendah memotivasi migrasi. Penyelesaian masalah PMI melibatkan sektor multi, bukan hanya tanggung jawab pemerintah desa. Meskipun demikian, desa dapat memberikan bantuan dari tiga sisi: persiapan, bantuan ke keluarga PMI, dan pelatihan bagi eks-PMI. Ini didukung oleh regulasi fiskal seperti Peraturan Menteri Desa PDTT No. 8/2022 yang mengarahkan Dana Desa (DD) berdasarkan data masalah dan potensi desa.

Sementara itu, PMI rentan mendapatkan masalah, karena banyaknya PMI perempuan dan bekerja di sektor Informal. Catatan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pada Data penempatan dan perlindungan PMI, pada masa pemulihan ekonomi ini meningkat lebih dari 176% dari 72.642 tahun 2021 menjadi 200.761 pada 2022. Terdiri dari PMI Perempuan sebanyak 122.147 orang (61%) dan penempatan informal mencapai 84.817 orang (43%). Jumlah ini jauh lebih rendah, jika dibandingkan dengan informasi yang diperoleh dari  perangkat desa di kantong PMI.

Informasi Desa

Desa kantong PMI dapat diketahui dari informasi Potensi Desa (Podes) yang dikumpulkan oleh BPS. Dari data Podes 2021, jumlah desa yang ada pekerja migran di luar negeri mencapai 35.371 desa/kelurahan. Jika dilihat dari series data sebelum pandemi, tren ini naik. Sementara, Perkiraan jumlah pekerja migran menurut catatan ada lebih dari 900 ribu warga, atau empat kali lipat lebih dari data BP2MI.

Selisih data yang dikelola oleh BP2MI dengan informasi pemerintah desa memperlihatkan potensi banyaknya PMI non prosedural. Mereka memiliki kerentanan yang lebih  tinggi dari PMI yang tercatat resmi. Parahnya, jika ada masalah yang timbul, maka PMI non prosedural tidak bisa mendapatkan perlindungan dari pemerintah ataupun penyedia kerja.

Perlindungan PMI dapat dimulai dari Desa sebagai benteng pertama pelindung bagi calon pekerja migran. Pelaksanaan UU No. 18/2017 perlindungan TKI perlu didukung dengan pengarsipan data dari level terendah (desa). Keluarga dan pemerintah desa dapat mengarsipkan dokumen warganya yang berangkat menjadi PMI, setidaknya bagi desa kantong TKI.

Tujuannya, memberi kepastian migrasi yang aman bagi calon PMI dan terhindar dari tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Karena, dari data Podes 2021 memberi gambaran ada kejadian TPPO di 49 desa. Jangan sampai ada kerjasama antara agen PMI dengan oknum perangkat desa, yang justru memuluskan calon PMI untuk bekerja ke luar negeri tanpa prosedur yang sah. Bahkan, perekrutan PMI menjadi komoditas strategis bagi agen untuk meraup keuntungan.

Peningkatan jumlah agen PMI yang tak terbendung, menjadi katalis bagi meningkatnya calon PMI. Peningkatan agen PMI cukup signifikan sebesar 40,84% atau dari 3.526 desa pada 2014 menjadi 4.966 desa pada 2018. Bahkan, saat pandemi Covid-19 tahun 2021, masih banyak agen PMI yang beroperasi di sebanyak 4.093 desa/kelurahan. Agen PMI yang tercatat ini bisa seseorang, sekelompok orang, atau perusahaan yang melakukan pengerahan PMI ke luar negeri.

Kondisi ini tentu menyulitkan pemerintah dalam membendung PMI non prosedural, dan justru mendorong niat warga menjadi PMI akibat kemudahan yang diberikan. Sementara itu, untuk menangani masalah PMI perlu kebijakan yang komplek dan terintegrasi dari hulu (desa) hingga hilir (Kementerian). Sinergi kebijakan mungkin terjadi jika data PMI terintegrasi.

Kolaborasi dengan Data 

Perlindungan PMI memerlukan kerjasama yang erat untuk mengoptimalkan peran Satgas Perlindungan PMI. Diperlukan integrasi data dari hulu hingga hilir, dengan pemerintah desa menjadikan status pekerja migran sebagai prioritas dalam data desa. Melalui Satu Data Migrasi Internasional (SDMI), penyediaan data dari berkas administrasi PMI harus dimulai dari desa. Dari sisi hulu, pemerintah desa perlu tatakelola data PMI dengan bantuan Kemendagri dan Kementerian Desa PDTT. Dari sisi hilir, lembaga seperti BP2MI, Kementerian Tenaga Kerja, dan lainnya harus mengawasi dan merujuk PMI. Untuk penanganan yang efektif, semua sektor perlu data terintegrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun