Bahasa apa yang Anda ajarkan pada anak-anak Anda? jika selain bahasa daerah yang Anda kuasai, apakah Anda sudah siap-siap menelantarkan bahasa daerah?
Sebuah bahasa dianggap "hidup" jika masih ada penutur untuk percakapan sehari-hari. Persoalannya, perkembangan bahasa daerah sebagai bahasa ibu mengalami kemunduran. Menurut Ethnologue, lembaga bahasa di dunia, Indonesia memiliki 707 bahasa daerah. Namun, dari sekian banyak bahasa ini, kita perlu siap-siap hanya dijumpai melalui perkamen bahasa yang tertinggal di sudut museum kebudayaan. Itupun, jika terdokumentasikan.
Tahun 2016, UNESCO telah menunjukkan kepunahan 12 bahasa daerah di Indonesia, yaitu Hukumina, Kayeli, Liliali, Mapia, Moksela, Naka'ela, Nila, Palumata, Piru, Tandia, Te'un, dan Tobada'.Â
Mungkin, fakta ini bisa jadi lebih sedikit dari kenyataan, karena bisa jadi masih ada bahasa yang belum didokumentasikan. Bahkan, menurut rujukan yang sama, 15 hari sekali akan ada kepunahan bahasa daerah di negeri ini.Â
Bahasa ibu sebagai bahasa pertama yang dipelajari oleh seseorang, menurut wikipedia merupakan bahasa asli, bahasa pertama, secara harfiah mother tongue. Namun perlu dipahami, Bahasa Indonesia di negara ini, bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar penduduk menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu, sesuai dengan identitas kesukuan.
Bahasa Sehari-Hari
Tren perubahan sosial di wilayah administrasi terendah (desa/kelurahan), semakin heterogen, kehidupan warganya kian beragam. Menurut Publikasi Potensi Desa (Podes), pada tahun 2014 ada 58.992 desa multietnis meningkat menjadi 61.895 desa pada tahun 2018. Bahasa Indonesia pun menjadi pilihan untuk berkomunikasi sehari-hari. Hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 yang lalu, sebenarnya telah spesifik memberi gambaran penggunaan Bahasa Indonesia dalam berkomunikasi sehari-hari.
Menurut Publikasi Potensi Desa (Podes), pada tahun 2014 ada 58.992 desa multietnis meningkat menjadi 61.895 desa pada tahun 2018.
Penggunaan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi di lingkungan keluarga mencapai 20 persen penduduk di seluruh Indonesia. Yang menarik dicermati, walaupun DKI Jakarta didominasi oleh para pendatang dari berbagai daerah di Indonesia, kenyataannya 90,7 persen penduduk DKI menggunakan bahasa Indonesia di rumahnya.Â
Lebih menarik lagi di Pulau Cendrawasih. Khususnya Papua Barat, persentase pengguna bahasa Indonesia di dalam rumah menempati posisi kedua dari 33 provinsi. Sekitar 70 persen penduduk usia 5 tahun ke atas di provinsi ini menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa setempat atau bahasa daerah pendatang. Sementara, di Provinsi Papua 36,6 persen penduduk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari.Â
Provinsi Sumatera Selatan misalnya, 97,54 persen penduduknya menggunakan bahasa daerah di dalam rumah. Meskipun bahasa palembang sangat mirip dengan bahasa Indonesia, namun penduduk menjawab menggunakan bahasa Palembang bukan bahasa Indonesia. Begitu juga untuk provinsi bengkulu dan Provinsi Bangka Belitung.
Dari hasil SP2010 ini juga, kita dapat melihat provinsi yang penduduknya masih menggunakan bahasa daerah. Provinsi Sumatera Selatan misalnya, 97,54 persen penduduknya menggunakan bahasa daerah di dalam rumah.Â
Meskipun bahasa palembang sangat mirip dengan bahasa Indonesia, namun penduduk menjawab menggunakan bahasa Palembang bukan bahasa Indonesia. Begitu juga untuk provinsi bengkulu dan Provinsi Bangka Belitung. Sementara, provinsi Maluku menduduki peringkat pertama penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga sebesar 99,3 persen.
Jika dilihat jumlah penutur, dari ratusan bahasa ibu yang ada di Nusantara, 10 penutur terbanyak meliputi bahasa Jawa, Melayu-Indonesia, Sunda, Madura, Batak, Minangkabau, Bugis, Aceh, Bali, dan Banjar. Mulai masifnya penggunaan bahasa Indonesia, menjadikan bahasa daerah semakin inferior di tengah komunitas dengan keragaman etnis. Peran bahasa daerah pun pelan-pelan berkurang.Â
Sekarang, bagaimana perkembangan bahasa ini? Kita tunggu saja hasil Sensus Penduduk (SP) 2020.
Peralihan bahasa
Peralihan bahasa ibu dari bahasa daerah ke Bahasa Indonesia bukan tanpa sebab. Pernikahan antar etnis, urbanisasi, serta serapan budaya perkotaan menjadi penanda awal bahasa daerah mulai dikesampingkan. Keturunan pun akan lebih banyak diajari Bahasa Indonesia, dibanding dengan bahasa daerah. Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Ibu keturunan baru. Proses ini alami, karena demi kelancaran komunikasi sehari-hari telah mulai mengesampingkan bahasa daerah.Â
Realitanya, sebagian besar rumah tangga di Indonesia cenderung tidak mempermasalahkan pernikahan berbeda suku/etnis. Publikasi Statistik Modal Sosial (Modas) 2014 memberi gambaran, 71,88 persen menyetujui anaknya menikah dengan suku yang berbeda dengan anggota keluarganya. Akhirnya, bahasa daerah pun menjadi melankoli.
Bergesernya penutur bahasa daerah menjadi Bahasa Indonesia, memang ironi di tengah kepunahan bahasa daerah di beberapa wilayah. Namun, seberapa baik bahasa daerah dipertahankan, tak peduli selama apa mereka jauh dari tempat asal. Inilah yang menjadi persoalan.
Tanpa adanya referensi bahasa daerah, perkumpulan komunitas suku/etnis, lambat laun banyak kosakata akan memudar seiring berkurangnya penutur. Terlebih, bahasa ibu sang anak bukan lagi bahasa daerah dari mana orang tuanya berasal.Â
PerekamanÂ
PBB telah menyadari kondisi ini, dan menetapkan 21 Februari sebagai hari bahasa ibu. Menjadi pengingat kita dalam bertutur menjaga bahasa daerah yang rentan kepunahan. Karena, merawat bahasa daerah lebih sulit dari sekedar melakukan perekaman. Perekaman bahasa bisa sangat terbatas saat penuturnya sulit ditemui.
Dokumen strategi kebudayaan pun dihasilkan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 di Kantor Kemdikbud, Jakarta (9/12/2018). Negara tak lagi melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang dapat di formalisasi. UU No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan mengamanatkan forum ini, serta Perpres No. 65/2018 tentang Tata Cara Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah dan Strategi Kebudayaan. Hasilnya, dalam dokumen tersebut tercatat 2.886 bahasa di seluruh wilayah Indonesia.
Persoalannya, melemahnya kesadaran untuk merawat dan mengajarkan ke keturunan  bahasa daerah andil dalam kepunahan bahasa daerah meskipun di tempat asal. Mengembalikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu, bukanlah perkara mudah. Terlebih, berkembangnya teknologi informasi dan komunitas yang kian beragam, mengesampingkan bahasa daerah yang semakin inferior untuk berkomunikasi.Â
Sadar atau tidak, kita telah menasionalisasi bahasa ibu dengan Bahasa Indonesia.
Sadar atau tidak, kita telah menasionalisasi bahasa ibu dengan Bahasa Indonesia. Mengajari anak-anak berbahasa daerah atau bahasa nasional memang suatu pilihan. Namun, diri sendirilah yang mampu menjadi benteng generasi penerus penutur bahasa daerah sebelum ingatan melemah seiring bertambahnya umur dan keadaan. Menghindari keterlantaran di tengah hiruk pikuk modernitas dan keberagaman. Selamat hari bahasa ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H