Badan Pusat Statistik (BPS) dalam berita resminya menyatakan Indeks Kebahagiaan Indonesia tahun 2013 Sebesar 65,11 pada Skala 0-100. Artinya jika dibuat nilai tengah sebesar 50, maka msyarakat Indonesia secara keseluruhan dalam kategori “cenderung” bahagia. Saya menanyakan soal ini dalam hati: seberapa besar kebahagiaan dibanding kekayaan yang saya hasilkan? Saya mencoba melayakkan diri kebahagiaan dengan apa yang saya miliki saat ini.
Terkait kebahagiaan dan kekayaan, ada penelitian yang mengatakan bahwa Negara terkaya adalah Qatar, berdasarkan The Richest Countries in the World yang dipublikasikan oleh World Atlas. Sementara ada penelitian lain lain mengatakan Negara terbahagia adalah Denmark (World Happiness Report 2016). Apabila kedua penelitian ini memang sesuai, maka muncullah fakta bahwa Negara paling kaya, bukanlah Negara yang paling bahagia. Kekayaan pada penelitian pertama berdasarkan besar pendapatan warga Negara, sedangkan penelitian kedua berdasarkan kepuasan warga Negara kepada negaranya. Di dalam daftar Negara terbahagia, Qatar sendiri berada pada ranking 36, jauh di luar sepuluh besar.
Kebahagiaan Hidup
Kebahagiaan itu dapat terpisah dari kepuasan atau dari capaian hidup. Kebahagiaan itu tanpa harus menunggu kaya atau mencapai tujuan tertentu. Misalnya, berteriak histeris melihat televisi saat kesebelasan yang favoritnya menang saat bertanding.
Histeria sama sekali sama sekali tidak ada hubungannya dengan capaian kehidupan diri sendiri. Pemainnya tidak lebih adalah orang-orang asing, kesebelasan asing, dan yang menang adalah orang asing, yang kalah juga orang asing. Namun, kemenangan dan kekalahan pihak asing itu begitu besar pengaruhnya bagi kebahagiaan dan kesedihan diri sendiri.
Kita mudah sekali untuk dibuat bahagia, tentu saja itu kabar baik. Cukup dengan mewujudkan prestasi idola-idola masyarakat, tak harus prestasi dari diri pribadi, sudah cukup mendatangkan sikap bahagia. Penduduk Indonesia mudah sekali dihibur. diberi tontonan apa saja, terhibur. Aneka sinetron, lawak, dan gossip semua diterima dengan baik sekali. Kita bisa menghabiskan waktu dengan bahagia untuk mendengar berita figur publik, mulai dari kawin lagi, tertangkap, sampai cerai untuk yang kali kedua. Kebahagiaan itu akan selalu melekat, selama pemerintah memberi kemudahan akses memperoleh sumber kebahagiaan masing-masing.
Memanfaatkan kemudahan mencari sumber kebahagiaan oleh masyarakat, pemerintah setidaknya mencari cara supaya warganya tetap berbahagia, salah satunya membuat masyarakat puas dengan menyediakan pelayanan ke sumber kebahagiaan yang semakin mudah. Misalnya, transportasi gratis, wisata gratis, sekolah gratis, secara berkala menyediakan hiburan-hiburan rakyat, dan sebagainya. Tetapi di sisi lain, pemerintah juga seperlunya mengupayakan peningkatan pendapatan masyarakat untuk mengakses segala hiburan tersebut. Mungkin itulah yang mamberikan kepuasan terhadap pelayanan pemerintah di mata masyarakatnya.
Membangun Kepuasan
Beberapa indikasi masyarakat puas dikehidupannya, menurut saya adalah tidak pernah merasa kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Kemudahan memperoleh air bersih, makan sehari-hari, tidak polusi, kemudahan dalam bersekolah, mengakses sarana kesehatan, adanya waktu luang di hidupnya. Singkatnya, warga Negara yang puas menjalani hidup adalah mereka yang selain rajin bekerja, memiliki waktu untuk berkreasi bagi dirinya sendiri.
Apabila sumber kebahagiaan bagi masyarakat itu jelas, maka sumber ketidak bahagiaan juga semakin jelas. Seluruh kesulitan akses ke kebutuhan dasar menjadi dasar ketidakpuasan yang menjadikan masyarakat tidak bahagia. Bekerja terus menerus, tatapi waktu untuk berkreasi bagi dirinya sendiri tidak ada. Saya berandai, apabila kebahagiaan berdampak pada umur seseorang, semakin bahagia semakin berumur panjang, maka mengacu di Denmark, harapan hidup mereka bisa rata-rata di atas 79 tahun, sedangkan di Indonesia memang lebih rendah, yaitu 70,6 tahun berdasarkan data BPS.
Saya menduga dari seluruh permasalahan tersebut ada masalah yang mendasar, dari setiap ujung selalu ada pangkal. Pilihan saya jatuh pada pelayanan pemerintah dalam menegakkan peraturan sebagai pangkal dari semua persoalan. Peraturan yang berlaku itulah yang membuat akses pemenuhan kebutuhan dasar semakin mudah, pelajar dengan tenang bisa belajar, orang tua tidak terbebani biaya sekolah, orang sakit mudah berobat, pekerja menjadi tenang, rekreasi menjadi mungkin, dan keidupan menjadi panjang. Di sebuah Negara dengan peraturan yang tidak ditegakkan, mungkin ini yang terjadi: membaca berita marah, menonton televisi marah, melihat media sosial marah, bekerja marah, di jalanan marah, dan di rumah marah. Setiap hari menabung kemarahan, akhirnya sakit, kurus, lalu mati.
Jika hidup hanya untuk ditinggal mati, menjalani hidup-pun jadi tidak menarik lagi. Akhirnya, sudah miskin, mabuk, menyalahgunakan narkoba pula. Hasilnya melebar kemana-mana, merampok, maling, menusuk kawan sendiri karena tersinggung, memperkosa, bahkan membuat kegaduhan menciptakan demo anarkis. Dalam keadaan tidak bahagia, tontonan tidak lagi menjadi perayaan, tetapi telah berubah menjadi ajang keributan yang berbahaya. Jika benar bahwa kebahagiaan seseorang tak hanya ditentukan oleh kualitas pribadinya, tetapi juga kualitas negaranya, betapa berat tanggungjawab pemimpin yang gagal membahagiakan warga negaranya.
Akhirnya, masyarakat Indonesia yang mudah berbahagia itulah salah satu bakat terbaik yang dimiliki Negara ini. Walau kabar buruknya di setiap bakat terdapat sekaligus mengundang bahaya. Saya masih meyakini masalah kemiskinan di Indonesia bukan halangan bagi Negara untuk membuat masyarakatnya bahagia. Karena, masih banyak jalan yang bisa menuntun kita menuju jalan kebahagiaan. @suchaini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H