Dentuman waktu yang bertalu-talu dan berlalu
Membayang pada siapapun tanpa ampun
Menguntit tak peduli pada siapapun meski menjerit
Suka duka tak bercela mewarnai tanpa janji
Si miskin menjadi kian miskin siapa yang peduli?
Si kaya menjadi kian kaya dengan gelak tawanya tiada henti
Adakah di antara kita merasakannya meski hanya sesaat?
Senja merona mengapa harus merana?
Bukankah adalah hal yang biasa menimpa alam semesta?
Untuk apa disesali?
Coba tanyakan kepada matahari
Mengapa kemarau harus terjadi
Mengapa hujan turun, petir menyambar ke bumi
Lalu mewujud sebagai bencana tak dinyana?
Coba tanyakan kembali kepada matahari
Mengapa kemarau harus terjadi
Mengapa hujan turun, petir menyambar ke bumi
Lalu mewujud sebagai anugerah dan berkah tak terkira?
Usahlah merana di kala rona senja menghampiri
Bila memang saatnya tiba yang tak seorangpun kuasa
Untuk menghalang dan menghadangnya
Biarkanlah rona senja datang dan berlalu
Karena ia sedang menyapa hati dan pikiran
Agar selalu terjaga untuk tak berulah berujung malapetaka
Pernahkah rona senja saat menampakkan wajahnya
Sembari meronta-ronta, membuat manusia jadi alpa?
Dan, mengapa harus merana tiada tara?
Mengapa?
Janganlah sekali-kali meragukan, apalagi merendahkan
Tentang maha pengasih, maha penyayang Tuhan
Yang memang nyata sebagai Sang Maha Segala ...
*****
Kota Malang, Oktober di hari kedua puluh enam, Dua Ribu Dua Puluh Empat. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H