Kali ini lega sudah pikiran si Paneri usai melaksanakan coblosan di TPS yang terlingkup di wilayah kampungnya. Si Paneri begitu yakin dengan pilihan yang dicoblosnya. Caleg yang terpampang di surat suara, mulai dari tingkat kota hingga tingkat pusat yang dicoblosnya, 75% diyakini bakal terpilih dan bakal melenggang duduk di kursi dewan parlemen.
Si Paneri ini tergolong salah seorang pemilih kreatif yang bisa dikata mendekati selektif dan agak kritis. Dia bukanlah tipe pemilih fanatik buta yang mudah dipengaruhi oleh tim sukses dari peserta Pemilu, maupun dari narasi-narasi yang dibangun oleh para juru kampanye. Bertitik tolak dari visi dan misi setiap caleg yang tertayang di media massa maupun di media sosial menurut daerah pemilihan atau dapil lah si Paneri memutuskan siapa yang akan dicoblosnya di surat suara pada saat hari H.
Caleg tingkat kota atau caleg DPRD II, dia plih dari yang diusung oleh partai X. Sedangkan caleg DPRD I dipilihnya dari partay Y, dan caleg DPR pusat dipilihnya dari partai Z. Unik juga cara yang ditempuh oleh si Paneri dalam hal memilih di setiap Pemilu yang diikutinya. Tak terkecuali manakala mengikuti Pemilu Daerah (Pilkada), dicermati dulu visi dan misi dari para kontestan yang maju, setelah itu baru memutuskan siapa yang dicoblos pada hari H di pelaksanaan Pilkada.
Lain halnya dengan si Nohes. Di Pemilu kali ini si Nohes benar-benar menerapkan pemikirannya, bahwa memilih dan dipilih itu berbanding lurus dengan kekuatan modal. Sehingga untuk bisa terpilih bagi siapapun kontestan dalam Pemilu adalah siapa yang memiliki modal yang kuat. Sekalipun memang ada dan terjadi seorang kontestan yang berhasil terpilih dengan modal yang minim atau pas-pasan, namun itu hanya ada dan terjadi dengan perbandingan satu berbanding seribu. Begitu yang disimpulkan oleh si Nohes.Â
Singkatnya, yang diterapkan oleh si Nohes adalah siapa yang memberi amplop tebal, itulah yang akan dipilih dan dicoblos pada hari H Pemilu di bilik TPS. Hitung-hitung, kapan lagi kalau tidak pada saat seperti ini dirinya menerima serpihan modal, pikir si Nohes.
"Suluh benar, jam segini sampeyan ada di rumah, Bro?" Kata si Paneri kepada si Jhon.
"Ya, bagaimana lagi, bukankah saat ini libur nasional?" Jawab si Jhon.
"Rupanya, sampeyan lebih dulu ya datang ke TPS daripada saya dengan Bro Nohes?" Lanjut si Paneri bertanya. Sementara, si Nohes hanya tersenyum sembari manggut-manggut, mengikuti saja arah percakapan antara si Paneri dan si Jhon.
Usai dari TPS, si Paneri dan si Jhon memang sengaja mampir ke rumah si Jhon. Sebab, pada saat memasuki dan keluar dari area TPS, keduanya tidak melihat batang hidung si Jhon sama sekali.
"Hari ini saya tidak kemana-mana koq, Bro. Sejak bangun pagi hingga saat ini, saya manfaatkan untuk baca-baca buku dan mencari info terkini dari media massa online mupun dari media sosial. Yah, untuk sekedar mengetahui perkembangan sistuasi dan dan kondisi sosial-budaya, politik, ekonomi, dan hankamnas di negeri ini," jawab si Jhon.
"Apa sampeyan tidak berparstisipasi untuk nyoblos di Pemilu, Bro?" Tanya si Nohes kepada si Jhon.
"Oh, tidak, Bro ..." Jawab si Jhon santai.
"Makanya di area TPS tadi tak nampak? Saya dan Bro Nohes sempat tengok sana tengok sini gagal menemukan sampeyan. Lhawong ngendon di rumah, pantas saja ... Kenapa sampeyan koq tidak menggunakan hak suara, Bro?" Sela si Paneri kepada si Jhon.
"Ya, males saja, Bro. Toch, saya nyoblos ataupun tidak, tak akan mempengaruhi terhadap hasil akhir dari Pemilu. Wong, hanya satu suara yang absen bila dibandingkan dengan sekian juta suara yang hadir masuk dalam perhitungan hasil suara. Ya, tidak?" Kata si Jhon sembari memandang ke arah si Paneri dan si Nohes.
"Memangnya tak masalah ya, Bro? Maksud saya, terkait dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara dalam hal partisipasi di Pemilu?" Tanya si Nohes.
"Begini, Bro ... Memilih itu bagian dari hak, bukan kewajiban. Jadi, pada prinsipnya, seseorang atau warga negara mau menggunakan hak pilihnya atau tidak, tidak ada sanksi hukumnya. Di negeri ini, orang yang tidak memberikan suara dalam Pemilu atau lebih dikenal sebagai golput (golongan putih) tidak dapat dikenakan sanksi pidana. Karena hak untuk memilih atau tidak memilih itu merupakan hak konstitusional. Pemilih di Indonesia memiliki kebebasan untuk mengekspresikan pendapatnya tanpa dikenai sanksi hukum. Hal ini diperkuat dengan Pasal 23 ayat (1) UU HAM yang menjamin kebebasan seseorang untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. Justru yang dapat dipidana adalah orang yang mempengaruhi atau mengajak orang lain supaya tidak menggunakan hak pilihnya yang disebut golput tadi, atau supaya memilih peserta pemilih tertentu. Jadi, pada dasarnya golput adalah bentuk lain dari abstain. Dan, abstain adalah mekanisme yang disediakan dalam setiap instrumen pengambilan keputusan dalam demokrasi. OK, bisa dipahami, Bro?" Jawab si Jhon dan sedikit mengulas dengan dasar argumentasi yang gamblang.
"Itu bila ditinjau dari sudut pandang menurut UU HAM. Sedangkan menurut UU Pemilu itu sendiri bagaimana, Bro?" Tanya si Paneri.
"OK, saya lanjutkan ... Sebenarnya, istilah golput itu tak dikenal dalam peraturan perundang-undangan. Istilah yang dikenal adalah mempengaruhi atau mengajak orang lain supaya tidak memilih atau tidak menggunakan hak pilihnya. Perbuatan yang mempengaruhi atau mengajak orang lain supaya tidak memilih peserta Pemilu ini diatur dalam Pasal 284 UU Pemilu yang berbunyi demikian: Dalam hal terbukti pelaksana dan tim Kampanye Pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung atau tidak langsung untuk (1) tidak menggunakan hak pilihnya; (2) menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah; (3) memilih Pasangan Calon tertentu; (4) memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu; dan/atau (5) memilih calon anggota DPD tertentu, dijatuhi sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Oleh karenanya, golput atau yang tidak menggunakan hak pilihnya yang dimaksud dalm Pasal 284 UU Pemilu adalah golput apabila dijanjikan akan diberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan karena tidak menggunakan hak pilihnya," kata si Jhon melanjutkan, memenuhi jawaban dari pertanyaan si Paneri.
"Lalu, sanksi pidananya apa terkait dengan Pasal 284 UU Pemilu itu, Bro?" Tanya si Nohes.
"Sebagaimana pada Pasal  515 UU Pemilu yang bunyinya demikian, Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tetentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda Rp 36 juta. Selanjutnya pada Pasal 523 ayat (3) dinyatakan demikian,  Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun penjara dan dena Rp 36 juta. Begitu, Bro. Masih adakah yang perlu ditanyakan atau mungkin ada yang masih kurang jelas untuk dipahami dan dimengerti?" Kata si Jhon kepada kedua sahabatnya, si Paneri dan si Nohes.Â
"Cukup, Bro ... Sudah gamblang jawaban dan ulasannya, koq. Jadi, itu toch yang mendasari sampeyan tidak berpartisipasi dalam coblosan Pemilu kali ini, yang istilahnya, sampeyan adalah bagian dari golput itu tadi?" Kata si Paneri menyimpulkan.
"Atau kalau boleh saya menambahkan, Bro Jhon ini adalah bukan golongan hitam, hehehe ..." Timpal si Nohes.
Si Jhon dan si Paneri pun turut tertawa setelah mendengar ungkapan kelakar si Nohes, yang sekaligus mengakhiri cengkerama tiga orang sahabat yang bertepatan dengan hari pelaksaanaan pemungutan suara dalam Pemilu.
*****
Kota Malang, Agustus di hari kedelapan, Dua Ribu Dua Puluh Empat. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H