Secara etimologis, "silogisme" berasal dari bahasa Yunani (Greek) yang berarti kesimpulan. Dan, hal itu bisa dibangun dan ditemukan melalui dua permasalahan yang terdiri dari premis khusus dan premis umum.
Silogisme, menjadikan cara berpikir sistematis dan jelas, hal ini dikarenakan silogisme memberikan ruang untuk berpikir kritis agar bisa membedakan argumen yang valid atau yang tidak.
Aristoteles berasumsi bahwa terdapat dua bentuk kesimpulan yang logis dimana silogisme diartikan sebagai cara menarik kesimpulan secara deduktif dengan menarik permis umum dan khusus.
Dan, secara prinsip, silogisme itu tidak bisa dipisahkan dengan apa yang dinamakan logika. Yakni, mencakup tentang pengertian, keputusan, dan pembuktian guna menghindari kesalahan titik tolak berpikir dengan seksama. Selanjutnya, logika selalu pararel dengan gerak pasti Alam bagi sosial budaya manusia.
Mari kita simak berikut ini, sebuah timbal cakap antara dua mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) dari sebuah perguruan tinggi ternama di negeri ini.
Seorang mahasiswa, sebut saja bernama Ucok, seorang lagi mahasiswa bernama Dimas. Keduanya, sedang berdiskusi face to face di sudut area parkiran kampus dimana keduanya adalah mahasiswa jurusan filsafat  semester akhir, dan tinggal menyelesaikan tugas akhir (skripsi).
"Logika, itu identik dengan akal sehat. Dan, akal sehat itu sejalan atau pararel dengan gerak pasti alam yang terancang bangun secara sistematis, penuh keteraraturan dan keseimbangan. Berikutnya, logika akan selalu bertalian dengan silogisme. Dimana silogisme merupakan kesimpulan yang mereduksi cara berpikir agar tak terjadi kesalahan titik tolak berpikir yang sistematis dan seksama. Bagaimana, menurutmu, Dim?" kata Ucok memantik kepada Dimas.
"Ya, sepakat, sebagaimana pandangan dari sang Aristoteles. Namun, bagimana bila kita konfrontir dengan logikanya Plato dengan idealisme serba citanya?" timpal Dimas yang tak mau kalah, dan mengimbangi ulasan Ucok.
"Memang, kenapa dengan idealisme serba citanya sang Plato, Kawan?" tanya Ucok, tanpa basa-basi.
"Plato dengan ungkapannya yang sangat populer, yakni 'Saya tahu, semakin saya tahu, saya tahu bahwa saya semakin tidak tahu', begitu ya? Maka apa sebenarnya dengan logika-silogismenya Plato dimaksud apabila kita tarik dengan pandangan Aristoteles itu?" tanya Dimas berbalik kepada Ucok.
"Dunia serba citanya sang Plato, yang lebih menekankan kepada hakikat kenyataan alam benda dan alam tan-benda, sebenarnya hanya soal perspektif saja. Dimana Aristoteles sebagai murid dari Plato di samping Socrates sebagai murid Plato lainnya, pada gilirannya, Aristoteles mampu megembangkan lebih jauh dengan pendekatan realisme sejarah budaya dan peradaban manusia di dunia alam nyata. Artinya, bahwa 'mencari ilmu pengetahuan adalah suatu terbit kerinduan pada diri manusia terhadap apa yang dulu pernah ada dialami di alam ruh yang serba suci, belum terkontaminasi oleh nafsu buruk manusia manakala terlahir di alam fana', dijawab oleh Aristoeles bahwa realisme sejarahlah yang menentukan dalam menghadapi kehidupan yang pararel dengan logika berbasis fakta yang tak terbantahkan dan diingkari, sebab nalar manusia telah menapak menurut lintasan rel yang semustinya." Jawab Ucok begitu detil nan seksama.
"OK, bagaimana menurutmu soal ini. Suatu premis yang terbaca demikian, '3orang ibu masing-masing dengan 2 anak, duduk pada 7 buah kursi, dan secara leluasa tanpa harus tumpang tindih', maka bagaimana logika-silogisme yang telah kita pahami dalam menganalisis dan menyimpulkan premis dimaksud. Ringkasnya, logis atau tidak di dalam fakta realitanya?"
Kali ini Dimas mengajukan statement kepada Ucok yang di kelas filsafat dikenal sebagai mahasiswa jurusan filsafat seanggkatannya, adalah mahasiswa yang sangat brilian. Yang selalu bikin decak kagum bagi beberapa dosen pengajarnya setiap kali berdialog interkatif dalam setiap perkuliahan di kelas.
Menghadapi apa yang diajukan oleh Dimas, kali ini Ucok agak terkesima dan sedikit terkejut yang nampaknya tak disangka dan tak dinyana, bila Dimas punya bahan diskusi yang cukup berat untuk dijawab dan diulas dalam bingkai logika-silogisme.
Menerawanglah alam pikiran Ucok kali ini. "3 orang ibu, masing-masing dengan 2 anak, berarti ada 9 individu". Bila kesembilan individu itu duduk pada kursi yang tersedia dan berjumlah tujuh, lalu dinyatakan leluasa tanpa harus tumpang tindih, maka kesimpulannya, logis apa tidak ya? Mungkinkah dengan 7 buah kursi bisa duduk dengan leluasa tanpa harus tumpang tindih? Ini berat menjawabnya, pikir Ucok.
"Bagaimana, Kawan? Berjenak-jenak lamanya, kutunggu jawabanmu, malah hanya berupa kerutan dahi yang terpancar oleh raut mimikmu yang kau suguhkan kepadaku, mengapa?" tanya Dimas heran kali ini.
"Tabiklah, aku sekarang kepadamu, Kawan! Tolong, jelaskan kepadaku apa maksud semua itu darimu ..." kata Ucok menyerah.
"Baiklah, Kawan. Kudeskripsikan permasalahan itu tadi dalam gambar sederhana seperti pohon faktor dalam pelajaran matetika SD. Sorry, ya Kawan?" kata Dimas dengan rendah hati.
"Ya, tidak masalah, Kawan," sahut Ucok penasaran.
 "Jadi, begini. Pada pohon faktor yang kunotasikan dengan huruf A sampai dengan huruf G, pada prinsipnya adalah tujuh individu yang bergender wanita atau perempuan. Dimana A adalah ibu dari B dan C. Begitu seterusnya turun ke bawah, B dan C adalah ibu dari D dan E, ibu dari F dan G. Sampai di sini bisa dipahami, ya?" tanya Dimas kepada Ucok.
"Lanjut, Kawan ..."
"Nah, sebaliknya, D dan E, serta F dan G adalah anak dari ibu B dan ibu C. Begitu seterusnya bila ditarik ke atas sampai pada A sebagai ibu induk awal. Dengan demikian, maka bila kita kembalikan kepada premis tadi tersimpullah bahwa #3 orang ibu adalah A, B, dan C. Dimamana A adalah ibu dari B dan C, sedangkan B dan C adalah ibu dari D dan E, ibu dari F dan G. Sehingga, A sampai dengan G keseluruhannya adalah 7 individu perempuan, dan kursi yang tersedia pun berjumlah 7. Maka logis kan bila bisa duduk secara leluasa tanpa harus bertumpang tindih, dan tak ada yang harus 'dipangku'. Berpikirmu, 3 orang ibu masing-masing dengan 2 anak, berasosiasi pada 9 individu ya? Yakni: 3 + (2x3) = 9. Sehingga puzzle your mind dengan tersedia kursi yang hanya 7. Begitu, ya kawan?" jelas Dimas masih dalam kondisi yang dengan rendah hati.
"Ya, asosiasiku memang begitu, Kawan," jawab Ucok lugas.
"Hebat sekali kamu, Dimas ... Salute aku kepadamu, Dimas ..." kata Ucok sebagai closing statement dalam diskusi face to face, berhadapan dengan Dimas di sudut area parkiran kampus FIB jurusan Filsafat.
Sekian, dan terima kasish. Salam Seimbang Universal Indonesia Nusantara ....
Â
*****
Kota Malang, Maret di hari ketiga, Dua Ribu Dua Puluh Empat. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H