Dagelan Politik-Politik Dagelan
Pemilu 2024 telah usai, isyarat tentang hasilnya pun telah disinyalkan oleh Quick Count siapakah pemenangnya, juaranya. Meskipun Quick Count bukanlah tolok ukur rujukan resmi dalam memastikan dan menentukan siapakah sang juaranya. Yang memastikan penetapan siapakah juaranya adalah hasil rekapitulasi resmi dari KPU sebagai panitia yang berwenang dan berkompeten terhadap soal ini.Â
Disebut juara, sebab setidak-tidaknya ini adalah tentang kontestasi, kompetisi, pertarungan, atau entah apalagi istilahnya dalam kemasan pesta demokrasi yang konon diletakdasarkan di atas pemahaman "Dari, oleh dan untuk rakyat". Bukan "Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk penguasa", lho? Supaya tidak terjadi pembengkokan makna, maka perlu diluruskan dengan selurus-lurusnya. OK? Harus OK, dong?!
Sehari usai Pemilu Coblosan dilaksanakan, para kontestan (3 paslon) Pilpres pun melakukan jumpa pers setelah mengetahui hasilnya dari versi Quick Count. Dimana Paslon A memperoleh kisaran 25,xx persen suara, Paslon B memperoleh kisaran 56,xx persen suara, sedangkan paslon C memperoleh kisaran 17, xx persen suara.
Dengan demikian, maka Paslon B nyaris dipastikan sebagai jawara (sementara) di Pemilu Pilpres 2024, sembari menunggu hasil rekapitulasi resmi dari KPU.
Dalam jumpas pers yang ditayangkan oleh stasiun TV ternama di negeri ini, Paslon B mengungkapkan rasa gembira dan bersyukur lantaran telah mendapat isyarat dan sinyal dari Quick Count sebagai juara sementara. Dan memberikan statement yang lugas nan tegas, bahwa kemenangan sementara itu adalah kemenangan Indonesia, kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya kemenangan kelompok dirinya, maupun koalisi partai pengusungnya. Hal ini, kata Paslon B, dengan melaksanakan Pemilu yang penuh dengan nuansa persaingan sengit sehingga harus ada yang kalah dan yang menang, maka jangan sampai mengoyak rasa persatuan Indonesia yang wajib dijaga dan dipelihara. Begitu yang ditandaskan oleh Paslon B.
Sementara, Paslon A justru sebaliknya dalam bertutur di jumpa persnya. Bahwa isyarat dan sinyal dari Quick Count, tidak bisa dipercaya, janggal, dan patut dicurigai ada apa di balik suara yang diperolehnya. Koq, cuma segitu ya?
"Ini jelas terjadi kecurangan secara tersungkur, automatis dan imajinatif. Itu jelas! Kami tidak bisa menerima, dan akan kami gugat dan akan kami naikkan ke Mahkamah Konsiliasi atas kecurangan yang nyata di depan mata ini ..!!" Kata Paslon A berapi-api laksana api nan tak kunjung padam.Â
Pun demkian halnya dari Paslon C. Nada irama pernyataannya pun 11-12 dengan Paslon A. Tak bisa menerima atas kekalahannya, dan menduga keras dan sepertiga menuduh, bahwa telah terjadi kecurangan yang dirancang bangun oleh Paslon B.
"Kami dari Paslon C, akan mengusut tuntas dugaan pelanggaran dan kecurangan dalam Pemilu ini. Kami tak mau berujung pilu dan malu. Apa kata Bunda bila tahu akan hal ini. Bisa-bisa saya dipecat dari partai karena tak mampu menghadang lawan," Begitu closing statement dari Paslon C.Â
"Koq, nyebut-nyebut Bunda ya Paslon C ini, apa hubungannya dengan Bundanya ya?" Gumam salah seorang jurnalis yang hadir di jumpa pers itu.
"Lho, sampeyan ini bjimana, to Kang? Bukankah Bos partai pengusungnya adalah seorang wanita yang dikenal sebagai 'Wanita Besi'? Sampeyan ini bijimana, kang?" Timpal jurnalis lainnya.
Tak jauh dari TKP dilaksanakannya jumpa pers itu, terjadilah obrolan dari 2 orang PKL dalam mereaksi hasil Pemilu dan pernyataan dari para Paslon usai bertarung di ajang Pemilu. Sebut saja 2 orang PKL itu, bernama Dugel dan Balok.
Dugel: "Lha iyo, wong kalah koq nesu lan uring-uringan, ra jentel ra elegan. Gitu, koq mau jadi pemimpin bangsa, negarawan. Ra  masuk blass kuwi ..."
Balok: "Lho, lho, lho ... koq beringsut dan bersungut-sungut, Bang? Â Hanyut dengan suasana hasil Coblosan, ya?"
Dugel: "Yo, musti to, wong kalah koq ra trimo, ngomong yang tidak-tidak. Yang curang laah, yang ini laah, yang itu laah ... ra pantes blass. Ngono, koq maunya disebut elit. Justru kita ini yang pantes disebut elit, ya Dik Balok? Ekonomi sulit ..."
Balok: "Abang tahu nggak masalahnya, kenapa mereka bisa kalah hingga terkesan erosi seperti tertimpa air bah?"
Dugel: "Yang jelas, ya ... yang nyoblos mereka cuma sedikit dan sedikit diminati oleh pemilih seantero negeri ini, Dik."
Balok: "Bukan karena itu, Bang. Masa Abang tak tahu persisnya kenapa mereka kalah?"
Dugel: "Saya ra mudheng dengan pertanyaanmu, Dik Balok. Malah mumet endhasku kalau mengingat dua Paslon yang kalah itu, hehehe ... Lha menurutmu apa, lho?"
Balok: "Mereka kalah, karena mereka tak menang. Dan yang menang, karena bisa kalahkan mereka yang kalah. Makanya, yang menang jadi jawara. Dan, yang kalah jadi susah, tak mau ngalah, ngeyel aja. Maunya menang aja. Gitu, lho?"
Dugel: "Dhuh, marahi mumet maneh endhasku nyimak omonganmu, Dik? Koq, Â tiba-tiba kamu seperti Paslon A yang kalah itu. Pinter bergoyang lidah, pinter bersilat lidah dan beretorika, omongannya melangit tak membumi, hahaha ..."
Balok: "Ternyata, kritis juga Abangku ini, hehehe ... Sebenarnya gampang, lho Bang, kalau mereka ingin menang dan pasti bisa menang mutlak bin telak."
Dugel: "Maksudmu, Dik? Harus punya strategi yang jitu, gitu ya?"
Balok: "Tepat sekali, Abangku!"
Dugel: "Bijimana strateginya, Dik?"
Balok: "Mereka harus menjalankan satrategi Coblos Borongan!"
Dugel: "Borongan?"
Balok: "Ya iya laah ... Jadi, mengajukan ke KPU untuk nyoblos yang diborong sendiri, tanpa melibatkan pemilih seantero negeri ini. Seluruh surat suara nasional, dicoblos sendiri dan dibantu oleh tim pekerja Borongan Nyoblos, terutama surat suara Pilpres-nya. Pasti bakal menang mutlak dan telak ..!!"
Dugel: "Gendheng nguntal sandal, strategimu itu ..??!!
*****
Kota Malang, Februari di hari kedua puluh tiga, Dua Ribu Dua Puluh Empat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H