"Lho, sampeyan ini bjimana, to Kang? Bukankah Bos partai pengusungnya adalah seorang wanita yang dikenal sebagai 'Wanita Besi'? Sampeyan ini bijimana, kang?" Timpal jurnalis lainnya.
Tak jauh dari TKP dilaksanakannya jumpa pers itu, terjadilah obrolan dari 2 orang PKL dalam mereaksi hasil Pemilu dan pernyataan dari para Paslon usai bertarung di ajang Pemilu. Sebut saja 2 orang PKL itu, bernama Dugel dan Balok.
Dugel: "Lha iyo, wong kalah koq nesu lan uring-uringan, ra jentel ra elegan. Gitu, koq mau jadi pemimpin bangsa, negarawan. Ra  masuk blass kuwi ..."
Balok: "Lho, lho, lho ... koq beringsut dan bersungut-sungut, Bang? Â Hanyut dengan suasana hasil Coblosan, ya?"
Dugel: "Yo, musti to, wong kalah koq ra trimo, ngomong yang tidak-tidak. Yang curang laah, yang ini laah, yang itu laah ... ra pantes blass. Ngono, koq maunya disebut elit. Justru kita ini yang pantes disebut elit, ya Dik Balok? Ekonomi sulit ..."
Balok: "Abang tahu nggak masalahnya, kenapa mereka bisa kalah hingga terkesan erosi seperti tertimpa air bah?"
Dugel: "Yang jelas, ya ... yang nyoblos mereka cuma sedikit dan sedikit diminati oleh pemilih seantero negeri ini, Dik."
Balok: "Bukan karena itu, Bang. Masa Abang tak tahu persisnya kenapa mereka kalah?"
Dugel: "Saya ra mudheng dengan pertanyaanmu, Dik Balok. Malah mumet endhasku kalau mengingat dua Paslon yang kalah itu, hehehe ... Lha menurutmu apa, lho?"
Balok: "Mereka kalah, karena mereka tak menang. Dan yang menang, karena bisa kalahkan mereka yang kalah. Makanya, yang menang jadi jawara. Dan, yang kalah jadi susah, tak mau ngalah, ngeyel aja. Maunya menang aja. Gitu, lho?"
Dugel: "Dhuh, marahi mumet maneh endhasku nyimak omonganmu, Dik? Koq, Â tiba-tiba kamu seperti Paslon A yang kalah itu. Pinter bergoyang lidah, pinter bersilat lidah dan beretorika, omongannya melangit tak membumi, hahaha ..."