Mohon tunggu...
Subiharto (Bejo)
Subiharto (Bejo) Mohon Tunggu... -

Aku akrab disapa Bejo. Tapi, aku tetap saja Aku. Aku bukan kamu, begitu pula sebaliknya. Aku hanya seorang manusia yang sedang belajar "memahami hidup" dan yang Aku mulai dari mencari tahu "tentang kehidupan." Mencoba menata barisan huruf menjadi kata, kalimat, paragraf, dan hingga bisa disebut tulisan (opini, essai, dll) aku jadikan bagian hidupku menjalani kehidupan ini. Kiranya, itulah Aku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mental Kere

17 Oktober 2011   02:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:52 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu bapak mengingatkanku pada sebuah pembicaraan dengan makelar motor. Di sela tawar menawar harga, sang makelar menyindir orang kampungku. “Jane wong nggawan (Kaligawan) kuwi mlarat kabeh opo piye to? Saben ono wong lahiran kok mesti ngurus JPS?” Tanyanya.

Bapak menjawab sambil senyum, “Lha sampean entuk beras jatah (raskin) opo ora?”

“Anu… Dhe. Nek kene ki di endum rata kok, Dhe.”

“Lha berarti kene rak yo kere kabeh?” Respon Bapak.

“Lha kuwi Kamitua (Kepala Dusun) malah entuk 1 sak (karung)!” Sahutnya, sambil menunjuk kepala dusun yang kebetulan ada dirumahnya.

Sontak tawa bersamaan menghentikan pembicaraan tentang hal itu.

***

Sebuah kenyataan yang miris. Raskin yang seharusnya sampai pada orang-orang atau keluarga yang benar-benar membutuhkan, namun fakta bercerita lain. Semua dibagi rata. Dan sang pamong pun mendapat bagian lebih alih-alih sebagai pengurus pembagian raskin itu. Fakta lain di beberapa desa, meski tidak dibagi rata, namun ada beberapa yang sebenarnya tidak berhak tapi mendapatkan. Entah apa alasannya sampai bisa begitu.

Sejumlah kabar angin yang menceritakan bawasannya hal itu sudah membudaya. Banyak hal yang tak tersalurkan sebagaimana mestinya. Intinya terpotong di jalan. Kalau tidak, ya penyalahgunaan prosedur semacam pemerataan pembagian raskin seperti di atas dan beragam penyalahgunaan lain yang belum aku pahami.

Sebenarnya orang yang berhak mendapat raskin ini sudah disortir oleh pimpinan desa. Namun, masih banyak orang mengajukan untuk mendapatkan raskin. Meski mampu, mereka menyatakan dirinya “kere” demi mendapatkan bantuan itu.

Sempat dengar kabar dari salah seorang rekan guru, bahwa ada pula guru yang mendapatkan raskin itu. Padahal, gaji guru PNS untuk kategori di desa sudah lebih dari cukup untuk hidup berkeluarga sederhana. Mereka iri ketika tetangganya yang bener-bener kurang mampu mendapatkan raskin. Konon hal itulah yang menjadikan pimpinan desa membagi rata raskin. Sungguh ini adalah mental kere. “Wong sugih ngaku kere, tapi ora gelem diarani kere.” Karena pada umumnya jika mereka disebut ‘kere’ marah-marah. Ini adalah salah satu contoh orang terdidik tapi bermental kere. ‘Ngemis’ hak rakyat miskin. Ironis memang. Seorang terdidik malah menjadi “penjajah” dilingkungannya sendiri.


***

Aku jadi ingat sebuah ajaran Kawruh Jiwa (KJ), yang merupakan psikologi terapan lokal, sebuah serapan dari lelakon Ki Ageng Suryometaram yang bisa dimanfaatkan untuk memelihara kesehatan-pikir (rasa) agar seseorang merasakan kebahagian dan kedamaian pribadi. Yaitu dengan menghayati “apa yang terjadi, di sini, begini, apapun bentuknya tidak menolak (menerima kenyataan)”. Setidaknya, dengan menerima saat ini, yang begini, dan segala kenyataan dalam diri yang terjadi pada dirinya, mampu meredam sifat manusia yang tak pernah puas itu. Dan bisa menyadari bahwa, “inilah aku”.

Dengan kerelaan penerapan atas pemahaman tersebut, niscaya kebahagiaan tak akan lari diri seseorang. Karena kalau bicara kurang, manusia ini (mungkin) tak pernah bisa merasa cukup. “narimo ing pandum,” harus pula jadi pegangan. Menerima dengan syukur apa yang menjadi hak dan memberi kepada yang berhak, itu akan mengundang acungan jempol. Meski jempol itu tak diharapkan. Namun, setidaknya jempol sebagai bahasa isyarat kepuasan seseorang terhadap apa yang sudah kita lakukan.

Meski awalnya melekat mental ke’kere’an, dengan pemahaman itu bisa jadi berbalik menjadi dermawan. Yang awalnya tangan di bawah menjadi berbalik di atas. Dengan keikhlasan hidup, menerima kenyataan hidup yang semua berakar dari diri sendiri. Menyadari akan kempuan yang direalisasikan sehingga mendapatkan hak sebagaimana mestinya yang disertai syukur akan lebih menentramkan hati. Merenggut hak orang lain hanya akan membawa kepuasan sesaat dan berujung gelisah karena rasa bersalah—jika disadari. Bukankah kenikmatan hidup itu tergantung bagaimana kita ikhlas mensyukuri yang saat ini dan begini? Sudahkah anda ikhlas dan bersyukur hari ini? :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun