***
Aku jadi ingat sebuah ajaran Kawruh Jiwa (KJ), yang merupakan psikologi terapan lokal, sebuah serapan dari lelakon Ki Ageng Suryometaram yang bisa dimanfaatkan untuk memelihara kesehatan-pikir (rasa) agar seseorang merasakan kebahagian dan kedamaian pribadi. Yaitu dengan menghayati “apa yang terjadi, di sini, begini, apapun bentuknya tidak menolak (menerima kenyataan)”. Setidaknya, dengan menerima saat ini, yang begini, dan segala kenyataan dalam diri yang terjadi pada dirinya, mampu meredam sifat manusia yang tak pernah puas itu. Dan bisa menyadari bahwa, “inilah aku”.
Dengan kerelaan penerapan atas pemahaman tersebut, niscaya kebahagiaan tak akan lari diri seseorang. Karena kalau bicara kurang, manusia ini (mungkin) tak pernah bisa merasa cukup. “narimo ing pandum,” harus pula jadi pegangan. Menerima dengan syukur apa yang menjadi hak dan memberi kepada yang berhak, itu akan mengundang acungan jempol. Meski jempol itu tak diharapkan. Namun, setidaknya jempol sebagai bahasa isyarat kepuasan seseorang terhadap apa yang sudah kita lakukan.
Meski awalnya melekat mental ke’kere’an, dengan pemahaman itu bisa jadi berbalik menjadi dermawan. Yang awalnya tangan di bawah menjadi berbalik di atas. Dengan keikhlasan hidup, menerima kenyataan hidup yang semua berakar dari diri sendiri. Menyadari akan kempuan yang direalisasikan sehingga mendapatkan hak sebagaimana mestinya yang disertai syukur akan lebih menentramkan hati. Merenggut hak orang lain hanya akan membawa kepuasan sesaat dan berujung gelisah karena rasa bersalah—jika disadari. Bukankah kenikmatan hidup itu tergantung bagaimana kita ikhlas mensyukuri yang saat ini dan begini? Sudahkah anda ikhlas dan bersyukur hari ini? :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H