Mohon tunggu...
SUBHAN AKBAR SAIDI
SUBHAN AKBAR SAIDI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis; Jalan menuju kemerdekaan sesungguhnya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Wajah Dunia Pasca Pandemi

1 November 2022   17:45 Diperbarui: 1 November 2022   17:50 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak munculnya pandemi, banyak yang beranggapan bahwa pandemi adalah bagian dari konspirasi global. Tak sedikit yang mengira bahwa korban akibat pandemi bisa melonjak. Bahkan berdasarkan data WHO pada jumat, 21 mei 2021 orang yang meninggal karena pandemi berjumlah tiga kali lebih banyak dari pada korban meninggal karena Covid-19 yang dilaporkan secara resmi.

Melihat pandemi sebagai konspirasi global tidak salah, sebab ini adalah era digital semua orang dapat berasumsi. Saya teringat dengan fenomena serupa "Black Death". Dari namanya mungkin agak menakutkan. Bagaimana tidak, akibat Black Death setengah dari populasi eropa pada saat itu telah menjadi korban. Pasca Black Death dunia kembali normal, tentunya dengan paradigma baru. Banyak aspek yang berubah pasca Black Death. 

Namun yang lebih menarik adalah beralihnya sistem feodalistik ke kapitalisme. Mulainya era baru ini membawah struktur tatanan kehidupan dunia kian hari semakin baik, walaupun banyak kritikan terhadap kapitalisme itu sendiri. 

Bahkan munculnya kompetisi di pasar bebas mengakibatkan perang dingin. Kapitalisme terus bertahan ditengah kritikan oleh komunisme. Pada abad 20, dunia kembali dihadapkan dengan wabah serupa yang mengakibatkan krisis (Flu Spanyol), tembok berlin runtuh dan era ini disebut sebagai era globalisasi.

Menarik untuk di analisis adalah, apakah era post pandemi akan mendamaikan perang dagang antar China dan Amerika? Atau beralihnya sistem ekonomi Kapitalisme menuju Sosialisme?

Dunia Baru Realitas Baru

Dalam tulisan ini, saya akan mempetakan hal apa saja yang akan di awali dunia pasca pandemi.

Pertama: Lanskap posisi negara dunia akan menuju No One's World. Bukan 1 negara yang berkuasa layaknya perang dagang antar China dan Amerika guna membuktikan negara mana yang paling kuat tetapi semua negara akan berkuasa dan berkompetisi termasuk Indonesia. Bahkan berdasarkan laporan  The World in 2050: The Long View, How Will the Global Economic Order Change by 2050? 

Yang dirilis oleh Pricewater House Coopers, dalam 30 tahun ke depan 6 dari 7 ekonomi terbesar di dunia akan berasal dari negara-negara berkembang saat ini, melampaui AS (turun dari 2 ke 3), Jepang (turun dari 5 ke 8), dan Jerman (turun dari 5 ke 9). 

Emerging Countries (E7), negara-negara berkembang tersebut dapat tumbuh 2 kali lebih cepat dari ekonomi negara maju (G7). Akibatnya, enam dari 7 negara ekonomi terbesar dunia diproyeksikan menjadi negara berkembang pada tahun 2050 yang dipimpin oleh  China (ke-1), India (ke-2), dan Indonesia (ke-4).

Kedua: Negara-negara dunia akan berkompetisi bukan terletak siapa yang salah atau siapa yang benar, melainkan negara mana yang mampu meyakinkan negara lain, era ini disebut sebagai era eksponensial, yaitu era yang memanfaatkan digital sebagai media perang (perang narasi) atau biasa disebut sebagai perang dunia ke-5.

Ketiga: Konsep yang di cita-citakan Prof Soepomo pada saat sidang BPUPKI (parental state). Pemikiran ini didasarkan pada prinsip persatuan antara pemimpin dan rakyat dan prinsip persatuan dalam negara seluruhnya. 

Dalam Susunan persatuan antara rakyat dengan pemimpinnya itu, segala golongan diliputi semangat gotong-royong dan kekeluargaan. Inilah struktur sosial asli bangsa Indonesia. Terbukti pada saat pandemi semangat gotong royong mulai digaungkan melalui tagar rakyat bantu rakyat.

Tantangan dan Rekomendasi Kritis

Alam terus berubah, manusia perlu menyesuaikan diri. Pada tahun 2045 Indonesia genap berusia 100 tahun yang berarti 100 tahun emas. Inilah yang menjadi salah satu alasan munculnya ide, wacana, dan gagasan Generasi Emas 2045. 

Bukan tanpa sebab maupun alasan Generasi Emas 2045 itu digaungkan. Pasalnya, ada satu "harta karun" yang sejatinya bisa menjadi modal untuk kelangsungan bangsa dan negara ini kedepannya. 

"Harta karun " itu bernama bonus demografi. Pada tahun 2045, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah penduduk Indonesia 70%-nya dalam usia produktif (15-64 tahun), sedangkan sisanya 30% merupakan penduduk yang tidak produktif (usia dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun) pada periode tahun 2020-2045. 

Jika bonus demografi ini tidak dimanfaatkan dengan baik akan membawa dampak buruk terutama masalah sosial seperti kemiskinan, kesehatan yang rendah, pengangguran, dan tingkat kriminalitas yang tinggi. 

Melihat dari fakta yang akan dihadapi Indonesia tersebut bonus demografi memang tidak bisa dihindari. Jadi untuk menghadapi fenomena ini tergantung bagaimana sikap semua pihak mulai dari masyarakat hingga pemerintah menghadapi bonus demografi ini.

Tantangan akan lebih berat, kita perlu bersiap dari sekarang. Dulu, semua orang bisa memperoleh pekerjaan dengan pendidikan yang layak. 

Namun hari ini, banyak orang yang memeliki pendidikan yang tinggi sekalipun belum tentu mendapatkan pekerjaan yang layak. Bahkan meningkatkan keterampilan dan pengetahuan akan menjadi Useless. Namun dengan munculnya Artficial Intelegence maka Useless nya akan meningkat. 

Oleh karena itu, penting untuk kita agar meningkatkan kemampuan beradaptasi dan eksplorasi terhadap hal-hal baru. Hidup rill di hari ini sembari mempersiapkan kehidupan yang akan datang. Begitupun dengan pemerintah, pemerintah harus memiliki leadership untuk beradaptasi dan mengeksplorasi.

Saya sangat sepakat dengan proyek infrastruktur fisik yang digalakan oleh pemerintah, tetapi pemerintah juga harus agresif dalam membangun infrastruktur Information & Communication Technology (ICT). 

Ada tiga komponen dalam infrasturktur ICT yakni jaringan (network), perangkat (device), dan aplikasinya. saya tak mau menyinggung semuanya. Kali ini saya hanya ingin menyinggung soal jaringan. Kita ingin menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Untuk itu kita perlu banyak fasilitas hotspot atau Wi-Fi gratis di ruang-ruang publik. 

Di tingkat provinsi sekalipun fasilitas Wi-Fi hanya tersedia di beberapa titik, di antaranya di halte-halte busway di Jakarta, taman-taman kota, seputar gedung balai kota, dan beberapa area publik. Sebuah survei menyebut bahwa akses internet kita masih menempati peringkat ke-138. PR kita masih banyak. 

Bicara soal kecepatan, kita pantas kagum dengan Korea Selatan dan Jepang. Namun, orang Korea Selatan dan Jepang pun sebaliknya juga kagum dengan kita. Apa yang mereka kagumi? Kesabaran kita! 

Meski begitu, saya serius dengan perlunya kita membangun infrastruktur ICT yang lebih andal. Tanpa jaringan IT, gap kaya-miskin antara Indonesia bagian dan timur akan makin besar. Ketika anak-anak muda di Jakarta begitu mudah mengikuti kuliah online tak berbayar (free) dari Coursera Harvard, jauh di timur untuk mengakses online banking saja susahnya setengah mati.

Tapi, baiklah saya ingin pakai alasan yang lain. Pertama, pemerintah sudah menargetkan Indonesia untuk menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Jadi, untuk mewujudkannya kita pasti butuh infrastruktur ICT. 

Sayangnya kalau bicara soal ini kita menempati peringkat ke-4 setelah Singapura, Malaysia dan Thailand. Kedua, Indonesia adalah negeri rawan bencana. Kita akrab dengan gunung meletus, longsor, banjir, angin topan, bahkan tsunami. 

Kalau bicara soal pentingnya jaringan ICT dengan penanganan bencana mungkin kita bisa berkaca dari Jepang. Jepang juga negeri yang rawan bencana, terutama gempa bumi dan tsunami. 

Bagaimana Jepang memanfaatkan ICT untuk menangani bencana? Masih ingat dengan gempa di Sendai pada tahun 2011 yang mencapai 9,0 Skala Richter. Pascagempa, pemerintah Jepang mampu dengan sigap melakukan evaluasi dan upaya penyelamatan lainnya. Salah satu faktor kunci di sini adalah kemudahan dalam mendistribusikan informasi. Semuanya adalah berkat infrastruktur ICT.

Kini, Jepang terus memanfaatkan ICT untuk mengelola bencana. Mereka menggunakannya untuk memantau potensi bencana, melakukan analisis, mengakumulasi informasi dan akhirnya mendistribusikannya ke banyak pihak sesuai tugasnya. Kalau saja masyarakat Palu bisa tahu lebih dulu soal ancaman gempa tahun 2018, mungkin jumlah korban yang meninggal tak akan mencapai 2113 jiwa . Kalau saja.... 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun