Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Buruh - Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tabir Gelap di Langit Singapura

20 Januari 2025   00:51 Diperbarui: 20 Januari 2025   00:51 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada suatu malam yang muram di Singapura tahun 1998, lampu-lampu kota berkilauan seperti bintang yang jatuh dari langit. Aidan berdiri di balkon apartemennya, memandangi cakrawala kota yang terus bertumbuh oleh hasil karyanya. Di balik keindahan itu, Aidan merasa kegelisahan yang sulit ia abaikan. Sebuah suara dalam hatinya berbisik, ada sesuatu yang tidak beres dengan proyek-proyek besar ini.

Kisah ini bermula saat ia bertemu dengan Hana, seorang aktivis lingkungan yang berapi-api. Dalam sebuah seminar tentang dampak pembangunan terhadap masyarakat lokal, Hana berbicara dengan penuh semangat. Ia menantang status quo, mengecam kebijakan pembangunan yang mengabaikan kemanusiaan. Aidan, yang awalnya hanya tertarik karena keberanian Hana, tak sadar bahwa pertemuan itu akan mengubah hidupnya.

"Aidan, tahukah kamu bahwa banyak proyek besar yang kita bangun ini berdiri di atas penderitaan manusia?" tanya Hana suatu malam di sebuah kedai kecil di kawasan Chinatown. Tatapannya penuh kepedihan, namun ada api yang membakar di baliknya.

Aidan mengerutkan kening. "Maksudmu?"

Hana mengeluarkan tumpukan dokumen dari tasnya. "Ini adalah bukti bahwa beberapa perusahaan konstruksi yang bekerja sama dengan perusahaanmu terlibat dalam perdagangan manusia. Mereka memanfaatkan pekerja ilegal, bahkan ada yang diperdagangkan untuk tujuan yang lebih gelap."

Ketika Aidan memeriksa dokumen-dokumen itu, darahnya membeku. Fakta-fakta itu jelas, tak terbantahkan. Namun, satu nama menarik perhatiannya: Lila.

"Siapa Lila?" tanyanya, mencoba menyembunyikan kegelisahan di suaranya.

Wajah Hana mengeras, dan ia menjawab lirih, "Lila adalah kakakku. Ia menghilang bertahun-tahun lalu. Aku mencarinya ke mana-mana, hanya untuk menemukan jejaknya di sini, di jaringan kejahatan yang sama yang aku lawan."

Dilema mulai menghantui Aidan. Sebagai arsitek, ia percaya pada pembangunan sebagai sarana untuk meningkatkan kehidupan manusia. Namun, kenyataan ini mencabik idealismenya. Bagaimana mungkin hasil karyanya menjadi alat bagi kejahatan yang menginjak-injak nilai kemanusiaan?

Sementara itu, Hana terus menggali lebih dalam. Penyelidikannya membawa mereka pada fakta mengerikan: Vincent, rekan bisnis Aidan yang dihormati, adalah tokoh utama di balik jaringan ini. Ia bekerja sama dengan Lila, yang kini menjadi salah satu pemimpin dalam jaringan tersebut.

Pada suatu malam, Aidan diundang ke pesta eksklusif di Marina Bay Sands, tempat Vincent sering menjamu tamu-tamu pentingnya. Suasana pesta dipenuhi musik klasik dan gelak tawa para pengusaha. Namun, Aidan merasa terasing. Ia sadar, di balik senyum ramah Vincent, ada jiwa yang gelap.

"Aidan, senang sekali kau bisa datang," kata Vincent sambil menyodorkan gelas anggur.

Aidan memaksakan senyum. "Terima kasih, Vincent. Tapi, ada sesuatu yang ingin kubicarakan."

Mereka bergerak ke sudut ruangan yang lebih sepi. "Aku mendengar tentang pekerja ilegal di proyek kita," kata Aidan, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang.

Wajah Vincent berubah dingin. "Aidan, dunia ini tidak pernah sesederhana itu. Kadang, untuk mencapai sesuatu yang besar, kita harus menutup mata pada hal-hal kecil."

Aidan tahu, di balik kata-kata itu, ada ancaman tersirat.

Ketegangan mencapai puncaknya ketika Hana menemukan bukti yang menghubungkan Lila dengan Vincent. Dalam sebuah pertemuan rahasia di sebuah kafe kecil, Hana menunjukkan rekaman video kepada Aidan. Dalam rekaman itu, terlihat Lila sedang berbicara dengan Vincent tentang pengiriman pekerja baru.

Air mata Hana mengalir. "Aku tidak percaya, Aidan. Kakakku sendiri..."

Aidan menggenggam tangan Hana, mencoba menyalurkan kekuatan. "Kita akan menghadapi ini bersama."

Hari itu juga, mereka memutuskan untuk berhadapan langsung dengan Lila. Mereka menemuinya di sebuah vila megah di pinggiran kota. Lila menyambut mereka dengan senyum dingin, tetapi matanya menyimpan luka yang dalam.

"Lila, kenapa?" Hana bertanya dengan suara bergetar. "Kenapa kau memilih jalan ini?"

Lila tertawa kecil, tetapi ada kepedihan dalam suaranya. "Kau tidak tahu apa yang telah kulalui, Hana. Ketika aku melarikan diri dari rumah, aku tidak punya apa-apa. Orang-orang seperti Vincent memberiku kekuatan, meskipun itu berarti aku harus mengorbankan orang lain."

"Tapi ini salah, Lila!" Hana memohon. "Kau bisa memilih jalan yang berbeda. Kau bisa membantuku melawan mereka."

Lila menggeleng. "Kau tidak mengerti. Jika aku melawan mereka, mereka akan membunuhku, dan kau juga."

Pertemuan itu berakhir dengan keheningan yang menyakitkan. Namun, Aidan dan Hana tidak menyerah. Mereka bekerja sama dengan seorang jurnalis investigasi untuk mempublikasikan bukti-bukti kejahatan Vincent dan Lila. Berita itu mengguncang Singapura, tetapi konsekuensinya tak terelakkan.

Vincent, yang marah karena pengkhianatan ini, memerintahkan pembunuhan terhadap Hana. Dalam sebuah pengejaran yang mendebarkan, Aidan berhasil menyelamatkan Hana, tetapi nyawanya sendiri hampir melayang. Mereka akhirnya melarikan diri ke Swiss, tempat mereka mencari perlindungan sementara.

Di akhir kisah, Lila, yang dilanda rasa bersalah, memutuskan untuk menyerahkan dirinya kepada pihak berwenang. Dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Hana, ia menulis:

Hana, maafkan aku atas semua yang telah kulakukan. Aku tidak meminta pengampunanmu, tetapi aku ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu. Aku hanya ingin kau hidup dengan bahagia dan melanjutkan perjuangan ini. Aku memilih menyerahkan diri karena aku tahu ini adalah jalan yang benar.

Hana menangis membaca surat itu, tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa kakaknya telah menemukan penebusan.

Dua tahun kemudian, Aidan dan Hana kembali ke Singapura untuk melanjutkan perjuangan mereka. Mereka mendirikan sebuah organisasi yang memperjuangkan hak-hak pekerja migran, sebuah upaya untuk menebus kesalahan yang terjadi di masa lalu.

Di bawah langit Singapura yang cerah, Aidan memandang Hana dengan senyum penuh cinta. "Kita tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi kita bisa membuat masa depan yang lebih baik."

Hana mengangguk, dan mereka berjalan beriringan, siap menghadapi tantangan apa pun yang menanti mereka di depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun