"Aidan, senang sekali kau bisa datang," kata Vincent sambil menyodorkan gelas anggur.
Aidan memaksakan senyum. "Terima kasih, Vincent. Tapi, ada sesuatu yang ingin kubicarakan."
Mereka bergerak ke sudut ruangan yang lebih sepi. "Aku mendengar tentang pekerja ilegal di proyek kita," kata Aidan, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang.
Wajah Vincent berubah dingin. "Aidan, dunia ini tidak pernah sesederhana itu. Kadang, untuk mencapai sesuatu yang besar, kita harus menutup mata pada hal-hal kecil."
Aidan tahu, di balik kata-kata itu, ada ancaman tersirat.
Ketegangan mencapai puncaknya ketika Hana menemukan bukti yang menghubungkan Lila dengan Vincent. Dalam sebuah pertemuan rahasia di sebuah kafe kecil, Hana menunjukkan rekaman video kepada Aidan. Dalam rekaman itu, terlihat Lila sedang berbicara dengan Vincent tentang pengiriman pekerja baru.
Air mata Hana mengalir. "Aku tidak percaya, Aidan. Kakakku sendiri..."
Aidan menggenggam tangan Hana, mencoba menyalurkan kekuatan. "Kita akan menghadapi ini bersama."
Hari itu juga, mereka memutuskan untuk berhadapan langsung dengan Lila. Mereka menemuinya di sebuah vila megah di pinggiran kota. Lila menyambut mereka dengan senyum dingin, tetapi matanya menyimpan luka yang dalam.
"Lila, kenapa?" Hana bertanya dengan suara bergetar. "Kenapa kau memilih jalan ini?"
Lila tertawa kecil, tetapi ada kepedihan dalam suaranya. "Kau tidak tahu apa yang telah kulalui, Hana. Ketika aku melarikan diri dari rumah, aku tidak punya apa-apa. Orang-orang seperti Vincent memberiku kekuatan, meskipun itu berarti aku harus mengorbankan orang lain."