Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Buruh - Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghadapi Realita Melangkah di Luar Zona Nyaman

30 Desember 2024   01:05 Diperbarui: 29 Desember 2024   18:07 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di tengah derasnya arus informasi, kita sering mendengar perdebatan panjang antara dogma agama dan ilmu pengetahuan. Seolah-olah, keduanya berdiri di dua sisi yang tak pernah bertemu. Kenyataannya, dogma agama menawarkan kenyamanan yang terasa akrab bagi banyak orang. Namun, di sisi lain, berpegang erat pada dogma dapat membatasi pandangan dan membuat seseorang tertinggal dalam perubahan dunia.

Dogma agama memiliki kekuatan yang memikat. Ia menawarkan kepastian di tengah ketidakpastian hidup. Ketika seseorang dihadapkan pada pilihan sulit, dogma sering kali hadir sebagai jawaban yang sudah dikemas rapi. Tak perlu banyak bertanya, tak perlu meragukan. Jawaban sudah tersedia.

Namun, kenyamanan ini sering kali membuat manusia terjebak dalam pola pikir yang stagnan. Dogma menuntut keseragaman: semua harus sesuai, semua harus patuh. Akibatnya, ruang untuk berdialog atau menerima perbedaan menjadi sempit. Bukankah dunia ini lebih indah dengan warna-warni perspektif? Sayangnya, dogma sering kali memaksa kita melihat dunia dalam hitam dan putih saja.

Ilmu pengetahuan, di sisi lain, adalah ruang yang penuh kemungkinan. Ia mendorong kita untuk terus bertanya, meragukan, dan mencari jawaban baru. Tidak ada kepastian mutlak dalam ilmu pengetahuan, hanya bukti sementara yang selalu terbuka untuk diuji. Konsep ini bertolak belakang dengan dogma agama yang cenderung menawarkan jawaban final.

Ketegangan ini menciptakan jurang yang sulit dijembatani. Ketika dunia bergerak maju dengan inovasi dan penemuan baru, mereka yang terjebak dalam dogma sering kali menolak perubahan. Perubahan dianggap ancaman, bukan peluang. Akibatnya, hidup menjadi tertinggal, terjebak dalam masa lalu yang sebenarnya sudah tak relevan.

Dogma agama sering kali mengajarkan bahwa ada satu kebenaran mutlak yang harus diikuti. Pemahaman ini menanamkan rasa takut untuk keluar dari batasan yang telah ditentukan. Takut dianggap salah, takut dihukum, atau takut kehilangan identitas. Padahal, hidup di dunia yang terus berputar menuntut kita untuk fleksibel, untuk berani berubah.

Bayangkan jika manusia purba menolak ilmu pengetahuan dan tetap berpegang pada dogma kuno bahwa api adalah sesuatu yang sakral dan tak boleh disentuh. Kita mungkin tidak akan pernah menemukan cara memasak makanan atau menciptakan teknologi yang kita nikmati hari ini. Dogma membuat manusia kaku, sementara ilmu pengetahuan mendorong kita untuk melangkah maju.

Tidak dapat dipungkiri, dogma memberikan rasa aman yang sulit ditandingi. Ia seperti pelukan hangat di tengah badai. Tetapi, kenyamanan ini sering kali hanyalah ilusi. Dunia nyata penuh dengan tantangan yang menuntut kita untuk berpikir kritis dan mencari solusi kreatif.

Berlandaskan ilmu pengetahuan, kita belajar menerima bahwa dunia ini penuh dengan ketidakpastian. Ketidakpastian ini bukan sesuatu yang menakutkan, melainkan peluang untuk tumbuh dan belajar. Dalam ilmu pengetahuan, tidak ada jawaban yang final. Setiap jawaban adalah pijakan untuk pertanyaan berikutnya.

Jika kita ingin hidup yang lebih dinamis, kita perlu membuka diri pada perubahan. Dunia terus berputar, dan mereka yang enggan berubah akan tertinggal. Dogma agama sering kali membuat kita memandang perubahan sebagai sesuatu yang salah atau bahkan berdosa. Padahal, perubahan adalah esensi dari kehidupan itu sendiri.

Berbasis ilmu pengetahuan, kita diajak untuk berpikir kritis dan menerima perbedaan. Tidak ada satu jalan yang benar untuk semua orang. Setiap individu memiliki caranya sendiri untuk mencari makna hidup. Ketika kita memahami ini, kita akan lebih mudah menerima bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan kekayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun