Teori konspirasi sering kali dianggap sebagai pemikiran yang irasional, muncul dari ketidaktahuan atau kurangnya pemahaman kritis. Namun, kenyataannya, fenomena ini justru menarik perhatian berbagai kalangan, termasuk mereka yang berpendidikan tinggi di Indonesia.Â
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa teori konspirasi tetap menarik bahkan bagi orang-orang yang telah menempuh pendidikan tinggi? Artikel ini akan menguraikan faktor psikologis dan sosial yang membuat teori konspirasi begitu memikat, serta menjelaskan mengapa pendidikan tinggi tidak selalu menjadi pelindung terhadap pola pikir yang irasional.
Masalah: Mengapa Teori Konspirasi Begitu Menarik?
Untuk memahami fenomena ini, pertama-tama kita perlu mengerti apa itu teori konspirasi. Teori konspirasi adalah keyakinan bahwa suatu peristiwa atau situasi disebabkan oleh tindakan rahasia sekelompok orang dengan maksud tersembunyi atau jahat.Â
Di Indonesia, teori-teori ini sering kali berpusat pada isu-isu seperti politik, kesehatan, dan sosial, yang kerap memicu ketertarikan, bahkan di kalangan masyarakat yang sudah berpendidikan tinggi. Lalu, apa yang membuat mereka tetap mempercayai narasi-narasi tersebut?
Pertama, teori konspirasi menawarkan penjelasan sederhana terhadap masalah yang kompleks. Di dunia yang penuh dengan informasi, individu cenderung kewalahan dan mencari jawaban yang mudah dipahami.Â
Narasi konspirasi memenuhi kebutuhan ini dengan memberikan penjelasan yang tampaknya masuk akal dan mudah dicerna, meskipun tidak sepenuhnya logis. Bagi sebagian orang, kesederhanaan ini menjadi daya tarik tersendiri, bahkan ketika mereka telah melalui pendidikan yang lebih tinggi.
Kedua, meskipun pendidikan formal menekankan pentingnya berpikir kritis, emosi sering kali mengalahkan logika. Ketakutan, kecemasan, atau kemarahan yang dipicu oleh situasi tertentu membuat orang lebih rentan terhadap teori konspirasi.Â
Teori ini memberi jawaban yang jelas dan musuh yang konkret, memberikan rasa aman dan kontrol dalam menghadapi ketidakpastian.Â
Dengan demikian, meskipun seseorang telah menempuh pendidikan yang tinggi, mereka tetap bisa terpengaruh oleh informasi yang mengonfirmasi perasaan emosional mereka.