Kedua, penting untuk membuka ruang diskusi yang sehat dan konstruktif. Alih-alih merendahkan atau mengolok-olok mereka yang percaya pada teori konspirasi, kita perlu mengajak mereka berdiskusi secara terbuka dan rasional.Â
Dialog yang berbasis penghormatan, bukan penolakan atau kritik tajam, dapat membuka kesempatan untuk mendorong orang meragukan keyakinan yang salah.Â
Menyajikan bukti secara empatik dan dengan pendekatan logis lebih mungkin berhasil dibandingkan serangan langsung yang hanya memperkuat resistensi mereka.
Ketiga, membangun kembali kepercayaan pada institusi formal seperti pemerintah, media, dan akademisi juga merupakan langkah penting. Salah satu alasan utama banyak orang terjun ke dalam teori konspirasi adalah perasaan ketidakpercayaan pada institusi.Â
Jika kepercayaan ini dapat dipulihkan melalui transparansi, akuntabilitas, dan keterbukaan, daya tarik teori konspirasi akan berkurang secara signifikan.
Keempat, mengakui bahwa teori konspirasi bukan sekadar masalah intelektual, melainkan juga terkait dengan kebutuhan psikologis dan emosional.
 Orang-orang sering kali mempercayai teori konspirasi karena mereka merasa mendapatkan rasa kontrol di tengah situasi yang tidak pasti.
 Menyediakan dukungan psikologis yang lebih baik, serta memperbaiki kesejahteraan mental secara umum, bisa membantu mengurangi ketergantungan individu pada teori konspirasi.
Daya tarik teori konspirasi di kalangan masyarakat berpendidikan tinggi di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kebutuhan akan penjelasan yang sederhana, pengaruh emosi, dan rasa percaya diri yang berlebihan.Â
Pendidikan formal tidak selalu menjadi penangkal terhadap pemikiran irasional, karena emosi dan bias psikologis sering kali lebih mendominasi dalam pengambilan keputusan.
Untuk menghadapi tantangan ini, kita perlu pendekatan yang lebih holistik, yang tidak hanya berfokus pada peningkatan literasi informasi, tetapi juga pada pemahaman terhadap faktor psikologis dan sosial yang memengaruhi cara berpikir seseorang.Â