Berabad bangsa kita telah merasakan hidup dalam cengkeraman kolonialisme Barat plus 3,5 tahun penjajahan Jepang (1942-1945 ) yang begitu menyengsarakan, menindas dan merampas kebebasan- berabad pula bangsa kita berjuang melawannya, dan perjuangan itu mencapai klimaksnya ketika Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Lahirlah negara Republik Indonesia, dengan UUD 45 sebagai konstitusi negara termasuk didalamnya adalah Pancasila yang disahkan oleh PPKI ( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 18 Agustus 1945, yang kemudian PPKI memilih dan melantik Soekarno - Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Pasca Proklamasi, sebagai negara baru- semua serba tidak mudah dan masih serba darurat- juga Konstitusi ketatatanegaraan belum stabil, disamping itu ternyata Belanda juga masih ingin menguasai Indonesia dibuktikan dengan tindakan agresi militer 1 1947 dan agresi militer ke-2 1948.
Soekarno-Hatta ditangkap Belanda pada 19 Desember 1949 dan memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Sementara, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia pada 22 Desember 1948- 13 Juli 1949 di Sumatera Barat. Setelahnya terbentuk pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat) 1949 dengan Konstitusi RIS, kemudian lahir Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, sampai akhirnya keluarlah dekrit presiden 5 Juli 1959 yang memutuskan kembali ke UUD 1945 dengan sistem demokrasi terpimpin.
Soal Pancasila Itu!
Istilah Pancasila dilontarkan pertama kali oleh Ir Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI. Namun, Pancasila sebagai dasar negara baru lahir pada 18 Agustus 1945 setelah melalui berbagai dinamika dan hasil pemikiran tokoh-tokoh bangsa lainnya, sehingga menghasilkan kompromi “nasional” Pancasila dengan 5 sila seperti yang menjadi dasar negara saat ini sebagai “rumusan final”nya.
Seperti kita ketahui bahwa pada sidang BPUPKI ada beberapa rumusan ”Pancasila” dalam dinamika pembahasan-nya, yaitu rumusan Mr Muh Yamin (29 Mei 1945), Rumusan Ir Soekarno (1 Juni 1945) dan Panitia Sembilan yang menghasilkan Piagam Jakarta. Begitulah para tokoh bangsa dengan kebesaran jiwa dan sikap kenegarawanannya akhirnya bersepakat memilih “rumusan final” Pancasila yang kemudian dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945 sebagai dasar negara- bukan rumusan M Yamin saja, Soekarno saja atau Piagam Jakarta saja tapi merupakan penggabungan nilai-nilai dari ketiganya yang disepakati.
Kita sungguh beruntung, Tuhan menurunkan begitu banyak manusia- para pejuang hebat kepada bangsa Indonesia dalam masa kolonialisme baik era sebelum dan jauh sebelum era kebangkitan Nasional tahun 1908 maupun era setelahnya menuju Indonesia merdeka dan pasca kemerdekaan. Soekarno adalah salah satunya, matahari yang tak pernah padam menyinari negeri ini-dia mulai bersemi nafas perjuangan-nya sejak remaja pada dekade ke-2 abad 20 di tengah gejolak perjuangan negeri ini bersama manusia-manusa hebat yang lain.
Prof Merle C. Ricklefs seorang sejarawan kontemporer Australia pada buku "Takdir" tulisan Peter Carey yang berkisah tentang riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855, mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro merupakan salah seorang tokoh Indonesia terbesar abad 19.
Kemudian, pertanyyaan berikutnya siapa terbesar di abad 20? Saya begitu meyakini bahwa Soekarno adalah Tokoh dan manusia terbesar Indonesia abad 20 dengan segala kontribusinya bagi bangsa, kelebihan, kekurangan, berbagai kesalahan dan ironi atas pilihan kebijakan politik kenegaraannya terutama pada demokrasi terpimpin.
Pada 1966 kekuasaan seorang Soekarno (tanpa mengurangi kebesarannya) harus berakhir melalui Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang oleh sebagian kalangan masih dianggap kontroversial- kekuasaan Soekarno berakhir tragis, kemudian Soeharto melanjutkan estafet kepemimpinan Nasional.
Dari demokrasi terpimpin ala Soekarno berganti ke demokrasi pancasila ala Soeharto. Soekarno berhasil membawa Indonesia ke panggung dunia secara politik, sementara Soeharto dengan orba-nya- Indonesia mendapat pengakuan dunia dalam bidang ekonomi dan berbagai sektor pembangunan lain seperti pangan, kesehatan, pendidikan dan kependudukan.
Mei 1998 boleh jadi adalah puncak kegelisahaan kita atas otoritarianisme dan tak terkendalinya perilaku KKN ( baca korupsi) era orde baru, sehingga tak berbendung berbagai gerakan reformasi baik di kalangan mahasiswa maupun berbagai komponen masyarakat dan para aktifis demokrasi melakukan berbagai perlawanan dan demontrasi besar-besaran akhirnya “memaksa” Soeharto memutuskan mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, mengakhiri 32 tahun kekuasaannya.
Dua puncak ”kegelisahan politik” nasional telah mewarnai perjalanan kepemimpinan bangsa ini setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945 yang berakhir dengan tragis dan antiklimaks. Kesamaan dari keduanya adalah otoritarianisme kekuasaan Soekarno (orla) dan Soeharto (orba) yang berakhir dengan krisis ekonomi, sosial dan politik.
Perbedaannya adalah jika Soekarno terpeleset karena blunder ideologi kenegaraan, sementara Soeharto terpeleset karena KKN yang merajalela. Kepemimpinan keduanya berhasil membawa Indonesia ke Panggung dunia, sayang keduanya harus mengakhiri kekuasaannnya secara tragis dan antiklimaks. Dua tokoh besar yang harus tetap kita jaga harkat dan martabatnya, serta kita hargai atas jasa-jasa besarnya kepada bangsa dan negara. Mikul dhuwur, mendhem jero! ( Menghargai segala jasa/kebaikannya, dan mengubur dalam-dalam/tidak mengungkit-ungkit segala kesalahannya)
Orde Reformasi 1 - Habibie.
Pasca mundurnnya Pak Harto 21 Mei 1998, lahirlah orde reformasi- merupakan transisi demokrasi sebagai upaya koreksi atas otoritarianisme orde baru.
BJ. Habibie yang menggantikan Pak Harto memulai dengan membebaskan semua tahanan politik karena menurutnya penjara bukanlah untuk orang-orang yang berbeda pandangan politik, mengeluarkan kebijakan Pers bebas, Bank Indonesia menjadi Independent dan Jaksa Agung tak lagi menjadi bagian dari kabinet, rakyat bebas mendirikan partai-partai politik dengan mengacu pada regulasi dan undang-undang yang berlaku, menyiapkan pemilu multi partai- kemudian Habibie juga tidak bersedia dicalokankan menjadi presiden untuk menjaga fatsun politik karena pertanggungjawabannya ditolak MPR.
Era Reformasi 2 - Gusdur dan Mbak Mega.
Gusdur dan Mbak Mega menjadi presiden dalam satu periode kepresidenan 1999-2004. Awalnya Gusdur/Mega (Oktober 1999- Juli 2001) dan Mbak Mega/Hamzah Haz meneruskan sisa periode sampai dengan 2004.
Pada periode ini pemilihan presiden masih berlangsung di MPR melalui Sidang Umum (SU) atau Sidang Istimewa (SI). Masih dalam suasana psikologis dan euphoria reformasi, kebijakan-kebijakan masih Gusdur masih berlanjut sebagai koreksi atas berbagai kebijakan era orba. Gusdur lebih menampilkan kepemimpinan yang merakyat dan non formal banyak kalangan menyebutnya sebagai desakralisasi lembaga kepresidenan, menonjolkan pluralistas dan reformasi TNI.
KKN yang merajalela di masa orba dan ternyata terus berlanjut di era reformasi dalam pola-pola yang berbeda dan lebih menyebar, dijawab dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bersifat independen, melalui UU-RI no. 30 tahun 2002 pada masa Presiden Megawati.
Era Reformasi 3 - SBY.
Tahun 2004 kita memasuki babak baru di mana untuk pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan Pilpres secara langsung one man one vote, rakyat bisa pilih langsung capres dan wapresnya-nya- tak lagi melalui MPR. SBY/JK berhasil unggul suara atas pasangan Mbak Mega/ Hasyim Muzadi, artinya SBY/JK akhirnya resmi menjadi Presiden dan Wakil untuk periode 2004-2009, menggantikan Mbak Mega/Hamzah Haz. Kemudian berlanjut untuk periode 2009-2014 setelah berhasil kembali menang melawan pasangan mbak Mega yang kali ini berpasangan dengan Prabowo Subianto, dan SBY berpasangan dengan Boediono.
Pemberantasan Korupsi di era kepemimpinan SBY sepertinya masih dalam situasi masa segarnya KPK yang baru dibentuk tahun 2002 ketika Megawati menjadi Presiden. Mengutip apa yang dikatakan SBY, bahwa selama periode 2004-2014, dia telah menandatangani 176 izin pemeriksaan bagi kepala daerah dan pejabat yang dicurigai melakukan kasus korupsi dan tindak pidana lainnya tanpa melihat apa jabatannya, partai politiknya, dan siapa koneksinya.
Terdapat 277 pejabat negara, baik pusat maupun daerah, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang ditangani KPK terkait tindak pidana korupsi, tidak termasuk perkara yang ditangani oleh Polri dan Kejaksaan. Menurutnya, di satu sisi hal tersebut mencerminkan gejala buruk bahwa korupsi tetap menjadi tantangan utama dalam kehidupan bernegara.
Di sisi lain, SBY melanjutkan, hal itu membuktikan bahwa hukum di Indonesia mampu menjerat siapa pun yang melakukan pelanggaran tanpa pandang bulu. (https://nasional.tempo.co/read/599916/sby-banggakan-capaian-pemberantasan-korupsi/full&view=ok).
Bagi saya, fakta-fakta di atas sebenarnya hanya untuk sekedar menggambarkan bahwa komitmen atas pemberantasan korupsi terjaga dan diimplementasikan dengan baik. Namun jika dilihat situasi keseluruhan tentu masih jauh dari puas. Pada akhir tahun 2013 skor Indeks Persepsi Korupsi kita masih di angka 32 ( dalam skala 0-100), jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia kita masih di bawah yaitu di peringkat 114 dari 176 negara, bandingkan dengan Singapura yang sudah masuk peringkat 5 dengan skor IPK 86.
Kebebasan Pers dan ekspresi mengeluarkan pendapat dari semua lapisan masyarakat tidak menjadi issue. Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana tertera dalam pembukaan UUD 1945 juga tidak pernah diotak-atik dan menjadi issue nasional yang sensitive.
Era Reformasi 4 - Jokowi.
Jokowi memenangkan kontestasi pilpres 2014 berpasangan dengan JK untuk periode kepresidenan 2014-2019 yang unggul atas pasangan Prabowo/Hatta. Kemudian pada pilpres 2019 kembali Jokowi yang kemudian berpasangan dengan kyai Ma’ruf Amin berhasil memenangkan untuk periode keduanya 2019-2024 melawan Prabowo Subianto yang kini berpasangan dengan Sandiaga Uno.
Satu hal yang kemudian sangat mengejutkan adalah ketika Prabowo Subianto sebagai mantan rival justru bersedia bergabung masuk kabinet menjadi salah satu menteri- sebuah anomali dalam sebuah kontestasi pilpres yang demokratis.
Issue Pemberantasan Korupsi. Lahirnya revisi UU KPK No 30 tahun 2002 yang disahkan melalui rapat pembahasan antara DPR dan pemerintah pada 17 September 2019 dalam rapat paripurna menimbulkan kontroversi di kalangan para pegiat anti korupsi baik di kalangan LSM maupun akademisi, juga masyarakat karena revisi dianggap mempreteli independensi KPK dan berbagai kewenangan-nya.
Menyangkut Issue Demokrasi.
Kontroversi pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Informatika (ITE) pada 2016. Revisi UU ITE berpotensi mengancam kebebasan berekspresi masyarakat Indonesia di ranah digital.
Kontroversi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Bank Indonesia yang sedang disusun Badan Legislasi DPR tentang perubahan atas UU Nomor 23 tahun 1999, dimana salah satu usulan dari draft RUU tersebut adalah adanya Dewan Moneter, sehingga BI tidak lagi independen- hal ini tentu bertentangan dengan spirit demokratisasi sejak awal reformasi sebagai koreksi otoritarianisme orba.
UU Omnibus Law yang proses pembentukan-nya minim partisipasi public dan sepertinya kurang terbuka adalah salah satu sisi kontroversi dari perpektif prinsip-prinsip demokrasi.
Issue Pancasila. Kontroversi Draf RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menjadi issue nasional yang sensitive. Ada apa gerangan dengan Pancasila? bukankah kita sudah sepakat dengan “rumusan final” Pancasila yang tercantum pada pembukaan UUD 1945, sebagai kompromi dari rumusan M. Yamin, Soekarno dan Piagam Jakarta.
Setuju dengan apa yang dikatakan Pak Jokowi pada sidang tahunan MPR dan sidang Bersama DPR dan DPD 2020 di gedung Parlemen Senayan, bahwa jangan ada yang merasa paling benar, paling agamis dan paling pancasilais.
Sebagai penutup dari tulisan ini, saya hanya ingin menggaris-bawahi bahwa otoritarianisme kepemimpinan, pemaksaan sebuah ideologi yang bertentagan dengan Pancasila dan korupsi yang merajalela adalah beberapa koreksi terhadap Orde Lama dan Orde Baru. Untuk itulah “Orde Reformasi” harus bisa menjaga komitmen dalam melakukan langkah-langkah korektifnya, jika tidak- jangan-jangan kita akan menjadi bangsa yang justru kembali ke masa lalu (set back). Wallahu A’lam Bishawab (SR-Swasta, Tinggal Di Jakarta)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H