Mei 1998 boleh jadi adalah puncak kegelisahaan kita atas otoritarianisme dan tak terkendalinya perilaku KKN ( baca korupsi) era orde baru, sehingga tak berbendung berbagai gerakan reformasi baik di kalangan mahasiswa maupun berbagai komponen masyarakat dan para aktifis demokrasi melakukan berbagai perlawanan dan demontrasi besar-besaran akhirnya “memaksa” Soeharto memutuskan mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, mengakhiri 32 tahun kekuasaannya.
Dua puncak ”kegelisahan politik” nasional telah mewarnai perjalanan kepemimpinan bangsa ini setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945 yang berakhir dengan tragis dan antiklimaks. Kesamaan dari keduanya adalah otoritarianisme kekuasaan Soekarno (orla) dan Soeharto (orba) yang berakhir dengan krisis ekonomi, sosial dan politik.
Perbedaannya adalah jika Soekarno terpeleset karena blunder ideologi kenegaraan, sementara Soeharto terpeleset karena KKN yang merajalela. Kepemimpinan keduanya berhasil membawa Indonesia ke Panggung dunia, sayang keduanya harus mengakhiri kekuasaannnya secara tragis dan antiklimaks. Dua tokoh besar yang harus tetap kita jaga harkat dan martabatnya, serta kita hargai atas jasa-jasa besarnya kepada bangsa dan negara. Mikul dhuwur, mendhem jero! ( Menghargai segala jasa/kebaikannya, dan mengubur dalam-dalam/tidak mengungkit-ungkit segala kesalahannya)
Orde Reformasi 1 - Habibie.
Pasca mundurnnya Pak Harto 21 Mei 1998, lahirlah orde reformasi- merupakan transisi demokrasi sebagai upaya koreksi atas otoritarianisme orde baru.
BJ. Habibie yang menggantikan Pak Harto memulai dengan membebaskan semua tahanan politik karena menurutnya penjara bukanlah untuk orang-orang yang berbeda pandangan politik, mengeluarkan kebijakan Pers bebas, Bank Indonesia menjadi Independent dan Jaksa Agung tak lagi menjadi bagian dari kabinet, rakyat bebas mendirikan partai-partai politik dengan mengacu pada regulasi dan undang-undang yang berlaku, menyiapkan pemilu multi partai- kemudian Habibie juga tidak bersedia dicalokankan menjadi presiden untuk menjaga fatsun politik karena pertanggungjawabannya ditolak MPR.
Era Reformasi 2 - Gusdur dan Mbak Mega.
Gusdur dan Mbak Mega menjadi presiden dalam satu periode kepresidenan 1999-2004. Awalnya Gusdur/Mega (Oktober 1999- Juli 2001) dan Mbak Mega/Hamzah Haz meneruskan sisa periode sampai dengan 2004.
Pada periode ini pemilihan presiden masih berlangsung di MPR melalui Sidang Umum (SU) atau Sidang Istimewa (SI). Masih dalam suasana psikologis dan euphoria reformasi, kebijakan-kebijakan masih Gusdur masih berlanjut sebagai koreksi atas berbagai kebijakan era orba. Gusdur lebih menampilkan kepemimpinan yang merakyat dan non formal banyak kalangan menyebutnya sebagai desakralisasi lembaga kepresidenan, menonjolkan pluralistas dan reformasi TNI.
KKN yang merajalela di masa orba dan ternyata terus berlanjut di era reformasi dalam pola-pola yang berbeda dan lebih menyebar, dijawab dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bersifat independen, melalui UU-RI no. 30 tahun 2002 pada masa Presiden Megawati.
Era Reformasi 3 - SBY.
Tahun 2004 kita memasuki babak baru di mana untuk pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan Pilpres secara langsung one man one vote, rakyat bisa pilih langsung capres dan wapresnya-nya- tak lagi melalui MPR. SBY/JK berhasil unggul suara atas pasangan Mbak Mega/ Hasyim Muzadi, artinya SBY/JK akhirnya resmi menjadi Presiden dan Wakil untuk periode 2004-2009, menggantikan Mbak Mega/Hamzah Haz. Kemudian berlanjut untuk periode 2009-2014 setelah berhasil kembali menang melawan pasangan mbak Mega yang kali ini berpasangan dengan Prabowo Subianto, dan SBY berpasangan dengan Boediono.
Pemberantasan Korupsi di era kepemimpinan SBY sepertinya masih dalam situasi masa segarnya KPK yang baru dibentuk tahun 2002 ketika Megawati menjadi Presiden. Mengutip apa yang dikatakan SBY, bahwa selama periode 2004-2014, dia telah menandatangani 176 izin pemeriksaan bagi kepala daerah dan pejabat yang dicurigai melakukan kasus korupsi dan tindak pidana lainnya tanpa melihat apa jabatannya, partai politiknya, dan siapa koneksinya.
Terdapat 277 pejabat negara, baik pusat maupun daerah, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang ditangani KPK terkait tindak pidana korupsi, tidak termasuk perkara yang ditangani oleh Polri dan Kejaksaan. Menurutnya, di satu sisi hal tersebut mencerminkan gejala buruk bahwa korupsi tetap menjadi tantangan utama dalam kehidupan bernegara.