Mohon tunggu...
Subagio Waluyo
Subagio Waluyo Mohon Tunggu... Dosen - Taruna

Subagio S Waluyo, Lahir di Jakarta, 5 Maret 1958, sudah berkeluarga (1 istri, 5 anak, dan cucu), Pekerjaan sebagai dosen di FIA Unkris (1988 sampai sekarang), Pendidikan Terakhir S2 Administrasi Publik, Alamat Rumah Jalan wibawa Mukti IV/22, RT003/RW017, Jatiasih, Kota Bekasi 17422

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kereta Api sebagai Transportasi Utama Rakyat

28 September 2017   21:32 Diperbarui: 28 September 2017   21:51 2362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Entah mengapa sampai usia menjelang kepala enam ini masih saja ada ketertarikan saya dengan kereta api. Setiap kali mendengar kata `kereta api` ada sesuatu yang menggelitik saya untuk membacanya kalau itu memang berkaitan dengan beritanya atau paling tidak berupaya melihat atau menontonnya. Untuk membaca beritanya di zaman kiwari ini tidak perlu beli media cetak, cukup dengan minta pertolongan `Mbah Google` dengan mengetik `kereta api` sudah bisa di-browsing sampai ditemukan isi tulisan utuhnya. Saya tinggal memilih dari sekian banyak tulisan atau paling tidak saya kunjungi website-nya. 

Begitu juga kalau saya mau menonton aktivitas tentang perkeretaapian, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional saya tinggal klik Youtube dan ketik kereta api, misalnya: kereta api Indonesia, segera terhidang sekian banyak film tentang aktivitas perkeretaapian. Seringkali saya harus berbagi dengan anak atau cucu saya untuk menyaksikan tayangan perjalanan kereta api (KA). Sesuatu yang membuat saya terhibur dengan menonton tayangan tersebut

***

Pertama kali saya benar-benar bisa menikmati perjalanan KA ketika saya berusia sepuluh tahun. Waktu itu, tahun 1968, tiga hari menjelang lebaran saya bersama-sama orang tua dan empat orang adik saya yang masih kecil-kecil melakukan perjalanan ke Yogya. KA ke Yogya tidak seperti sekarang banyak pilihannya. KA khusus untuk ke Yogya, di luar KA Gaya Baru Malam atau BIMA, cuma ada kereta api senja kelas ekonomi. 

KA saat itu yang tergolong jarak jauh juga tidak ada yang berangkat pagi hari seperti sekarang ini. Semua KA yang melalui jalur selatan (ini saya ketahui setelah dewasa) berangkat dari Stasiun Gambir. Untuk jalur utara melalui Stasiun Senin. Setelah Stasiun Gambir direhab, secara berangsur-angsur semua KA yang berkelas ekonomi dan bisnis dipindahkan ke Stasiun Senin. Stasiun Gambir hanya diperuntukkan KA-KA kelas eksekutif.

Mungkin karena saya masih anak-anak, saya nikmati saja perjalanan itu. Berangkat malam hari praktis tidak bisa melihat pemandangan. Karena saat itu saya hanya tahu jalur KA menuju Yogya lewat Bogor, saya sempat bertanya pada orang tua saya kalau KA ini nanti lewat Bogor. Orang tua saya dengan bijak menjelaskan kalau jalur KA yang ke arah Yogya tidak lewat Bogor. Belakangan ketika saya buka-buka peta Pulau Jawa saya dapati jalur KA di Jawa ternyata bukan hanya ke arah selatan tetapi juga ke arah barat dan timur. 

Untuk ke arah timur itu pun masih terbagi lagi nanti di Stasiun Cikampek yang ke arah selatan (Bandung dan seterusnya) dan di Stasiun Cirebon juga terbagi lagi ke arah timur (Semarang, Surabaya, dan seterusnya) dan ke arah selatan (Purwokerto, Yogya dan seterusnya). Semua jalur yang ke arah timur (meskipun ada yang berbelok ke jalur selatan, baik di Stasiun Cikampek maupun Cirebon) ternyata tersambung juga ke arah yang sama. Orang yang mau ke Surabaya atau Malang bisa lewat jalur utara, bisa juga jalur selatan.

Sekitar pukul 02.00 dinihari KA berhenti cukup lama di Stasiun Prupuk karena ada sedikit kerusakan. KA baru bisa berangkat menjelang subuh. Kami sampai di Stasiun Tugu sekitar pukul 10.00. Sebuah perjalanan yang melelahkan karena kalau dihitung-hitung lamanya perjalanan hampir enam belas jam. Meskipun demikian, jika perjalanan dari Jakarta ke Yogya makan waktu sekitar enam belas jam, pada waktu kembali ke Jakarta jauh lebih cepat hanya butuh waktu sebelas jam. 

Dibandingkan dengan sekarang orang yang melakukan perjalanan dengan KA sejenis jauh lebih cepat yang hanya memakan waktu paling lama sepuluh jam. Jika menggunakan KA Bisnis (Fajar Utama) atau KA Eksekutif (KA Taksaka) hanya butuh waktu delapan atau sembilan jam. Tetapi, jika dibandingkan dengan orang yang mudik memakai kendaraan pribadi atau umum saat ini, menjelang lebaran (meskipun sudah ada jalan tol sampai Brebes Timur), naik KA pada waktu itu jauh lebih cepat. Tidak terbayangkan di zaman yang seharusnya jauh lebih baik dalam segala hal mengapa musti ada orang yang merenggangkan nyawa hanya untuk pulang kampung?

Jalur KA pada waktu itu sedikit sekali yang menggunakan jalur ganda. Setahu saya sampai dengan tumbangnya Orde Baru, jalur ganda yang ke arah timur baru sampai Stasiun Cikampek dan di jalur tengah (Jakarta-Bogor). KA kelas ekonomi harus bersabar menunggu kedatangan KA kelas-kelas yang lebih tinggi untuk lewat baik yang searah maupun yang berlawanan arah. 

Terkadang butuh waktu cukup lama untuk bisa melanjutkan perjalanan setelah menanti kedatangan KA yang lain. Ketika masih anak-anak saya terkadang bermimpi (mungkin juga berkhayal) kalau suatu saat nanti ada sekian banyak jalur ganda (bisa sampai dua jalur ganda) yang bisa mempercepat perjalanan KA. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun