Ya, menafsirkan sejarah itu tidak semudah yang dibayangkan. Metode sejarah mengaharuskan orang untuk berhati-hati. Dengan metode sejarah orang tidak boleh menarik kesimpulan yang terlalu berani.Â
Selain dari kasus Ustad Adi Hidayat, contoh lain umpamanya dengan penelitiannya yang detail, sejarah tidak dapat menyimpulkan bahwa Sang Merah Putih telah berkibar selama 6000 tahun.Â
Meskipun demikian, menurut saya pendapat UAH juga tidak sepenuhnya salah. Terlalu kasar jika kita mengatakan pendapat UAH ini sebagai pembuat kebohongan sejarah. Â Toh ketika UAH menyebut nama Syech Faradj Martak, itu memang ada tertulis dalam Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).Â
Faradj Martak adalah seorang pengusaha. Dan pada tanggal 28 April 1938 ia pernah mengajukan permohonan pengurangan harga tanah di Residentie Soerabaja (Surabaya).Â
Artinya, pendapat UAH ini tidak sepenuhnya salah. Hanya saja memang menurut saya pendapatnya kurang begitu kuat seperti apa yang dikatakan oleh sejarawan Asvi Warman Adam. Â Tapi pendapat UAH ini menurut saya patut kita hargai karena bisa menjadi bahan juga untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Â
Begitulah asyiknya berdinamika. Perdebatan kesejarahan memang selalu memunculkan perdebatan intelektual. Saran dari saya semoga dengan adanya dinamika kesejarahan ini bisa menemukan penemuan-penemuan baru untuk menyumbangkan ide dan gagasan dibidang kesejarahan.Â
Kesimpulannya dari saya bahwa dinamika sejarah bukan untuk membuktikan siapa yang salah tapi siapa yang bisa membuktikan kebenaran sejarah dengan bukti-bukti yang ia miliki.Â
Kita juga bisa menyimpulkan bahwa sejarah tidak semudah yang kita bayangkan dan sejarah bukan sekedar masa lalu, sejarah juga bukanlah mitos atau dongeng. Sejarah tentunya bisa menghidupkan dinamika intelektual bangsa. Â
Sekian, semoga artikel ini bermanfaat  ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H